CERPEN: Merenda Awan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 01 Jan 2018 16:51 WIB
Selalu saja ada alasan Ibu pulang. Perasaan ingat pada Ayah atau alasan lain. Desa itu tercinta baginya. Tempat kami dilahirkan. Kami paham.
Ilustrasi (Foto: LifeofPix)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Sebaiknya Ibu pulang lebih cepat.”
Kalimat itu selalu saja hadir ketika sudah hari ke tiga di kota kecil di atas bukit ini, meski mirip dengan desa Ibu. Perasaan ingat pada Ayah atau ada saja alasannya untuk pulang ke sana, ke desa tercinta baginya. Tempat kami dilahirkan. Kami paham.

“Bing. Kembalikan tanaman itu ke tempatnya,” suara Kakak.

“Aku perlu untuk penelitian tugas sekolah.”

“Ya. Aku paham. Tak harus kau cabut tanaman kecil itu dan akarnya.”

“Aku harus membawa pohon kecil ini ke sekolah tiga hari ke depan.”

“Kau bisa petik bagian dari ruas daun ke batang akar sedikit. Tanpa mencabut pohon kecil itu. Dia jenis perdu, sekandung rumputan mudah tumbuh jika ada air, akan tetap segar,” suara Kakak lagi. Makin panjang menjelaskan manfaat pohon perdu pada tanah, fungsi penunjang tanaman lain di sekitarnya.

Suatu kali diam-diam Kakak melihat kami mengangkut beberapa batu-batu koral untuk keperluan berkemah di tepi desa. Malamnya aku dan kawan-kawan akan membuat tungku api untuk penghangat badan dan masak memasak. Rencananya begitu.

Terdengar teriakan Kakak dari atas bukit tepi sungai. “Hayo! Untuk apa kalian angkut batu-batu itu.” Kakak segera menuruni bukit tepi kali dengan cepat. Dia peneliti biologi dan tanaman langka juga pendaki gunung. Kami berempat kaget. Hah! Suara Kakak.

“Kalian berempat mengambil batu-batu koral itu untuk apa?”

“Untuk tungku api di tenda kami nanti malam Kakak,” suara Sad menjawab.

“Wah panjang nih urusan dengan Kakak.” Dalam benakku.

“Juga untuk memasak keperluan berkemah Kakak.” Jawab Mar cepat.

“Tak lama dari sini kami akan menanak nasi Kakak. Jadi perlu api.” Jawab Sol menegaskan.

“Bing. Kau diam saja.” Suara Kakak.

“Benar seperti kata mereka Kakak.”

“Kalian tahu. Kalau empat di kali sepuluh sama dengan empat puluh. Kalian memberi contoh tidak baik. Kalau empat puluh orang setiap hari mengambil batu dari sungai ini akan membuat longsor bagian-bagian tepian bukit itu dalam tempo 40 bulan. Tahu akibatnya?” Suara Kakak kembali menjelaskan fungsi tanah, sungai dan desa kami di atas bukit. Kami diam menyimak.

“Wah lama nih. Perut sudah lapar.” Dalam benakku.

“Bing!” Suara Kakak.

“Ya. Aku menyimak Kakak.”

“Kalian berkemah di tepi desa. Dekat dengan hutan lindung. Banyak ranting kering di tepi hutan. Tinggal mencari sisa dahan kering agak besar yang runtuh sebab angin. Bisa untuk penunjang, berfungsi jadi tungku api kalian. Tak perlu sejauh ini mengambil batu koral di sungai.” Kami semua terdiam.

Lanjut Kakak “Ingat dahan atau ranting yang jatuh akibat angin! Tidak…”

“…Menebangnya…” Kami serentak menyambung kalimat Kakak dengan sigap.

Sebelum meninggalkan kami Kakak menoleh, tanda ia mengingat, menggaris bawahi pesannya, agar segera mengembalikan batu-batu koral itu ke tempatnya semula.

“Dikerjakan Kakak…” Suara kami serentak.

Suatu kali di meja makan keluarga kecil kami. ”Setelah lulus SMA nanti kau akan melanjutkan kemana Bing.” Pertanyaan Ayah hadir disaat aku tak siap, sedang asyik menikmati masakan Bunda. Nikmat sekali malam ini.

“Anak lelaki ku harus sigap dan terbuka.” Lanjut Ayah lagi sambil membelah pepes tempe separuh untukku. “Jadi? Mau masuk akademi militer. Kan kau pernah cerita, bersemangat. Kau lupa ya. Waktu itu pesawat jet lewat di atas kepala, kita sedang santap masakan Bunda di dangau siang itu. Lupa? Belum satu bulan berlalu.”

“Ya. Bing masih ingat Ayah.” Ramailah meja makan itu dengan kelakar. Kakak seperti biasa menguji dengan beberapa pertanyaan. Ibu mewaspadai jawaban Ayah, tentu Ibu di pihak kami.

Cinta dan kasih sayang itu tumpah ruah di meja makan. Dari cerita cita-cita hingga calon teman Kakak dan hidupku di masa akan datang selepas aku SMA. Pilihannya seperti apa. Kata Ayah, Ibu akan merestui, tapi menurut Ayah, meralat kalimatnya sendiri, sebaiknya pendidikan di selesaikan dulu.

“Jangan ngobrol jodoh. Ada saatnya berkat itu datang untuk kalian.” Suara Bunda sejuk bagai air dari surga. Kalau sudah begitu Ayah mati kutu hehehe…

Kegembiraan dan malam menutup hal ihwal berbagai cerita, impian, harapan dan doa dari kedua orang tua kami. Cinta dan kasih sayang membuat hidup kami mengalir bagai sungai di balik bukit di desa kami. Kedua orang tuaku tetap setia di tanah leluhurnya, setia pada sawah, ladang dan bukit sekitar desa kami. Hutan lindung memberi makna indah saling menjaga memberi manfaat ekosistem.

Cinta dan kasih sayang bagai matahari menyinari bumi bagai nebula memberi terang cahaya gemintang di kejauhan semesta. Barangkali disana para malaikat kebaikan bermukim di balik gemerlap ledakkan bintang indah itu. Malaikat pemberi kabar tentang waktu perubahan, cuaca, waktu peradaban, sistem, kasih sayang semesta kepada planet-planetnya.

Kadang aku mendaki hingga ke puncak gunung terdekat dari desa. Jarak tempuhnya kurang lebih 139 menit perjalanan cepat dengan kawan-kawan. Di ketinggian itu malam seakan memberi jawaban, kehidupan baik-baik saja. Alam tak pernah marah pada siapapun, ia hanya menepati janji untuk perbaikan ekosistem akibat waktu tempuh berlapis zaman berjuta waktu dari perubahan menuju perubahan.

Dari ledakan besar menuju ledakan besar berikutnya. Tercipta bimasakti seluas cinta dan kasih sayang di langit nurani kehidupan. Kasihnya melahirkan aku. Cintanya membesarkan aku.

Samar-samar menjauh aku melihat Bunda dalam cahaya gemerlapan, di cahaya lain aku melihat Ayah, senyumnya khas. Lalu keduanya sirna.

Aku terkesima dalam rengkuh waktu tanpa batas. Ada banyak syair indah dari taman nurani, cahaya-cahaya lembut membawa ku menjauh semakin meninggi. Kakak dan tim SAR. Suara sirene. Ambulans menjauh. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER