Jakarta, CNN Indonesia -- Dari tiga praktik kotor yang rentan terjadi dalam tubuh lembaga pemerintah pusat dan daerah di Indonesia yakni Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), korupsi adalah masalah yang paling banyak ditemui.
Berbagai pemberitaan mengenai kasus korupsi kecil dan besar kerap menghiasi kolom surat kabar dan program berita di layar kaca. Setiap tahun selalu saja terdapat kasus korupsi yang mencemari reputasi dan citra suatu lembaga pemerintah di mata masyarakat.
Di tahun yang akan segera berakhir ini, kasus korupsi yang paling menghebohkan dan menjadi bahan perbincangan masyarakat dunia nyata dan dunia maya adalah kasus korupsi e-KTP yang melibatkan ketua DPR RI yang sekaligus merupakan ketua umum Partai Golkar, Setya Novanto.
Beberapa waktu sebelumnya, Setya Novanto atau Papa sempat bermain kucing-kucingan dengan aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mendadak jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit saat ia dijadikan tersangka. Setelah status tersangkanya dibatalkan, Papa langsung sembuh seperti sediakala.
Aksi kucing-kucingan Papa berakhir saat dirinya kembali masuk rumah sakit lantaran mengalami kecelakaan saat mobil Toyota Fortuner yang membawanya menuju gedung KPK menabrak tiang listrik. Papa sebelumnya menghilang dari kediamannya, bersamaan saat aparat KPK menjemputnya setelah dirinya kembali dinyatakan sebagai tersangka.
Sayangnya, di kali kedua ini Dewi Fortuna tidak berpihak pada Papa. Aparat KPK menyusulnya ke rumah sakit dan membawanya ke Gedung KPK untuk ditahan. Publik akhirnya bernafas lega, kini Setya Novanto telah mengenakan rompi tahanan KPK berwarna oranye yang oleh sebagian orang disebut sebagai rompi paling mahal, karena diperlukan tindakan korupsi miliaran dan triliunan rupiah untuk bisa mengenakannya.
Kasus korupsi e-KTP yang menjadi trending topic di kalangan masyarakat ini disebut-sebut sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia yang pernah terungkap, dengan total kerugian yang dialami negara sebesar 2,3 triliun rupiah. Jumlah ini menjadikan kasus korupsi e-KTP ini sebagai sebuah megakorupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga masyarakat yang harus melengkapi status Warga Negara Indonesia (WNI) nya dengan sebuah KTP yang kini berbasis elektronik.
Akibat kasus korupsi ini, banyak sekali masyarakat yang mengeluhkan pembuatan e-KTP yang tidak kunjung selesai. Sudah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sejak perekaman data, namun e-KTP tidak kunjung berada dalam genggaman tangan.
Dari paparan contoh kasus korupsi tersebut, kita tentu dapat menyimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan jahat yang sangat merugikan semua pihak. Banyak sekali proyek-proyek yang dilaksanakan demi kesejahteraan rakyat yang sejatinya selain dibiayai oleh negara juga dibiayai oleh uang rakyat menjadi mangkrak akibat penggelapan yang dilakukan oleh pejabat yang korup dan mementingkan dirinya sendiri.
Rakyat pun tidak dapat menikmati pemberian dari negara sebagai hasil dan timbal balik atas pemberiannya kepada negara. Akibatnya, rakyat pun mengambinghitamkan pemerintah dan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap pemerintah. Di sisi lain, koruptor pun turut memberikan coreng hitam dan mencederai reputasi pemerintah. Pemerintah dijadikan tumbal yang harus mempertanggungjawabkan lambatnya pembangunan di sektor tertentu. Padahal, pelaku sebenarnya yang harus disorot adalah si tikus pemakan uang negara.
Lambatnya penggarapan proyek-proyek kepentingan rakyat di Indonesia juga dipengaruhi bukan hanya oleh satu kasus korupsi, melainkan banyak kasus yang terjadi secara berkelanjutan. Karena tindakan korupsi muncul terus-menerus, maka proyek-proyek tersebut juga seakan jalan di tempat karena dananya menghilang entah kemana. Secara tidak langsung, negara pun merugi sebab dana yang sudah terbelanjakan menjadi terbuang percuma begitu saja dan menjadi sia-sia. Pada akhirnya, proyek pun mangkrak tak pernah terwujud dan tak pernah terselesaikan.
Tindakan korupsi seringkali identik dengan sikap tidak jujur dan curang. Namun faktor hawa nafsu sepertinya lebih berperan dalam mendorong seseorang untuk melakukan praktik korupsi. Seorang pejabat pemerintah yang diamanahi menjalankan proyek tertentu dengan alokasi dana yang besar jika ia mampu mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak menggunakan sebagian atau seluruh uang untuk kepentingan pribadinya, niscaya ia tidak akan melakukan korupsi.
Koruptor melakukan tindakan korupsi karena termakan hawa nafsu dan terdorong oleh godaan untuk meraup dana yang diamanahkan padanya untuk hal-hal yang hanya menguntungkan diri sendiri. Maka dari itu dapat disimpulkan, pejabat yang memiliki rekam jejak bersih pun masih memiliki kemungkinan untuk melakukan tindak pidana korupsi jika ia tergoda oleh nafsu untuk menyalahgunakan dana yang dipercayakan padanya.
Korupsi (dan kolusi serta nepotisme) merupakan kebiasaan turunan dari pemerintahan masa Orde Baru. Di masa itu, korupsi merajalela dan menjadi kebiasaan buruk yang dipelihara dan masih lestari hingga sekarang sehingga menjadi problematika yang sangat serius untuk ditangani.
Lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pun dibentuk untuk membendung praktik korupsi. Mereka berjibaku memberantas tindak pidana korupsi hingga ke akarnya. Kerja kerasnya tentu patut didukung dan dibantu oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pekerjaan mereka akan menjadi lebih ringan jika kita sebagai rakyat yang tertindas oleh praktik kotor ini turut mencegah terjadinya korupsi, dengan cara menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada diri masing-masing dan anak-anak sebagai generasi penerus, serta melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu untuk memiliki atau menguasai sesuatu yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Marilah kobarkan semangat baru untuk melawan segala bentuk tindakan korupsi yang masih menjadi kebiasaan buruk yang dipelihara entah sampai kapan.
(ded/ded)