Jakarta, CNN Indonesia -- Federasi Wartawan Internasional, IFJ, dan Aliansi Media, Hiburan dan Seni Australia, MEAA, memprotes keputusan kepolisian Australia yang menghentikan penyelidikan kematian lima wartawan asing di Kota Balibo, Timor Leste, tahun 1975 silam.
Kepolisian Federal Australia, AFP, memutuskan menghentikan penyelidikan karena kekurangan bukti yang mendukung kelima wartawan asal Australia, Inggris dan Selandia Baru itu tewas dibunuh, seperti temuan tim forensik tahun 2007.
Pekan lalu, tepat 39 tahun tewasnya kelima wartawan itu, MEAA dan IFJ menyatakan keprihatinan mereka terkait lambatnya proses penyelidikan kasus Balibo oleh AFP dan keengganan aparat Australia meminta bantuan pihak terkait di Indonesia untuk menguak kasus ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekretaris federal MEAA Christopher Warren dalam pernyataannya menyesalkan keputusan AFP yang menurutnya membiarkan pelaku pembunuhan bisa bebas begitu saja.
"Pekan lalu, AFP mengakui dalam lima tahun penyelidikan, mereka tidak meminta bantuan apapun dari Indonesia atau bekerja sama dengan polisi di Indonesia. Kegagalan yang memalukan ini bisa membuat pembunuh 'Balibo Five' bisa tidur nyenyak, karena yakin tidak akan dihukum atas kejahatan perang mereka. Kekebalan hukum telah menang dari keadilan," kata Warren dalam pernyataan di situs IFJ.
Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan perkembangan penyelidikan Balibo berjalan sangat lambat. Kasus yang terjadi tahun 1975 baru terungkap ada unsur pembunuhan pada 2007, 32 tahun kemudian.
"Dihentikannya kasus ini memberikan pesan mengerikan, tidak peduli seberapa besar tragedinya, pemerintah bisa menemukan banyak alasan untuk berpangku tangan dan tidak melakukan apapun," kata Worthington.
Lima wartawan yang tewas tersebut adalah Greg Shackleton, 29, dan Tony Stewart, 21, dari Australia, Gary Cunningham, 27, dari Selandia Baru, Brian Peters, 24, dan Malcolm Rennie, 29, dari Inggris.
Sebelumnya istri Greg, Shirley, juga menyampaikan kekecewaannya atas dihentikannya kasus Balibo dan akan menempuh jalur hukum untuk membuka kasus itu lagi.
"Kau membunuh lima orang, dan itu bukan merupakan pelanggaran? Bagaimana jika ini terjadi pada putramu, atau ayahmu?" kata Shackleton, dikutip dari News.com.au (21/10).
Kelompok Aksi Papua Barat di Auckland, juga menyampaikan kekecewaannya karena pemerintah Selandia Baru tidak melakukan apapun dan hanya mengandalkan polisi Australia untuk mengungkap kasus ini.
"Catatan sejarah menunjukkan bahwa Selandia Baru bergantung pada Australia pada penyelidikan terhadap kematian para jurnalis selama bertahun-tahun. Sudah waktunya kita lebih proaktif dalam mencari kebenaran," kata Maire Leadbeater dari Aksi Papua Barat dalam pernyataannya.
Jangan Salahkan KopassusPada tahun 2007, ahli forensik di New South Wales, Dorell Pinch menemukan kelima wartawan itu tewas karena tembakan atau tikaman berkali-kali, bukan karena terjebak pertempuran.
Peristiwa ini menginspirasi film tahun 2009 berjudul Balibo yang dilarang tayang di Indonesia.
Di sisi lain, mantan tentara Indonesia, Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto yang terlibat dalam operasi di Timor Leste saat itu kepada CNN Indonesia (22/10) mengaku lega jika penyelidikan akhirnya dihentikan.
"Saya gembira karena sudah tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan dan pengusutan lebih lanjut," kata Gatot.
Dari pihak Indonesia mengatakan, kelima wartawan tewas karena terjebak dalam pertempuran, bukan dieksekusi.
Gatot adalah salah satu anggota TNI yang saat itu bertugas membantu Serikat Demokrasi Timor, UDT, dan Asosiasi Demokrasi Populer Timor, APODETI, untuk mengamankan Timor Leste yang saat itu akan mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugal.
Menurut Gatot, Kopassus hanya sebagian dari pasukan bersenjata yang berada di Balibo, selain UDT dan APODETI. Jadi, Kopassus tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kematian lima wartawan asing.
"Tidak diketahui wartawan kena tembak peluru siapa. Seharusnya jangan langsung dituduhkan kepada Kopassus," kata Gatot.