PEREKRUTAN ISIS

Harapan Saudi untuk Atasi Radikalisasi

CNN Indonesia
Senin, 03 Nov 2014 23:58 WIB
Pemerintah Arab Saudi mulai was-was terkait perekrutan warganya untuk dijadikan anggota kelompok radikal. Pemerintah pun lakukan deradikalisasi.
Anak yang direkrut kelompok jihad radikal selalu tega meninggalkan orang tuanya, meskipun ada yang kemudian pulang karena merasa tertipu. (Reuters/Kai Pfaffenbach)
Riyadh, CNN Indonesia -- Bagi pemerintah Arab Saudi, perang melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad adalah salah satu perjuangan yang harus dilakukan untuk masa depan Timur Tengah. Tetapi hal tersebut bukan untuk dilakukan oleh pemudia mereka.

Khawatir dengan kepulangan para pejihad veteran yang telah bergabung dalam pemberontakan Al-Qaidah di Afghanistan dan Irak satu dekade lalu, pemerintah Arab Saudi saat ini berusaha menghentikan perekrutan warganya untuk dijadikan pejuanh, donatur dana dan senjata oleh pemberontak di Suriah.

Pemerintah Saudi dan ulama menyebarkan pesan mereka melalui media dan masjid; "Warga Arab Saudi yang bergabung dengan kelompok radikal seperti ISIS akan terjebak dalam pengalaman jihad yang buruk dan sia-sia".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk membantu pemerintah, media setempat juga menyoroti kasus Fahd al-Zaidi, seorang warga Arab Saudi yang mengaku telah tertipu setelah kelompok radikal mengajaknya berperang melawan rekan Muslim Sunni-nya, bukan malah untuk berjuang bagi kebebasan mereka.

"Siapa saja yang bergabung dengan ISIS akan diisolasi dan dicegah untuk menghubungi orang lain," kata al-Zaidi dalam komentar yang diberitakan di media lokal Arab News dan media Saudi lainnya. "Kami di sana bertanya-tanya bagaimana kami membiarkan diri tertipu oleh sekelompok penjahat itu, " ujar al-Zaidi.

Kenyataan bahwa kelompok Sunni lebih sering berkelahi satu sama lain daripada bertempur dengan tentara Assad, membuat Saudi yakin kalau perang Suriah harus dilakukan sendiri oleh warga Suriah. Warga Saudi yang mendukung ISIS menguasai Suriah dan Irak, menjadi ancaman bagi pemerintah Saudi yang merupakan sekutu AS.

Selain lewat media, Saudi menggunakan berbagai cara untuk mencegah perekrutan jihad.

Pada bulan Februari, Saudi mengeluarkan pernyataan bahwa warganya yang pergi untuk berjihad, membuat propaganda atau menjadi donatur ke ISIS, Al-Qaidah atau Front Nusra akan dihukum penjara. Akibat peraturan tersebut beberapa warga Saudi telah divonis penjara.

Beberapa ulama terkemuka, telah berulang kali mengecam kelompok militan melalui ceramah agama. Ulama senior telah menggambarkan perang Suriah sebagai jihad, namun mereka memperjelas bahwa perang tersebut harus diperjuangkan oleh warga Suriah, bukan oleh warga Saudi.

Meskipun propaganda anti-jihad radikal telah diserukan pemerintah, namun ribuan pemuda Saudi masih berhasil menyelinap melalui internet untuk bergabung dengan ISIS dan kelompok-kelompok lainnya. Pihak berwenang mengatakan telah ada 2.500 lebih warga Saudi yang pergi berperang di luar negeri.

Kelompok militan menggunakan jaringan media sosial di dunia maya sebagai alat perekrutan. Tapi saat ini calon pejihad tidak perlu lagi melakukan kontak dengan para fasilitator di Arab Saudi. Mereka bisa terbang ke Turki untuk menuju perbatasan Suriah atau Irak. Yang lain berkomunikasi lewat dunia maya untuk mencari seseorang yang akan membantu setelah mereka tiba di sana.

Salman, nama anonim, mengatakan bahwa kakaknya telah direkrut di dunia maya dan pergi melalui Turki untuk berjuang bersama ISIS dan Front Nusra di Suriah. Tapi kakaknya mengaku tertipu dan tidak menemukan kecocokan antara jihad kelompok militan dengan jihad murni sesuai agama. Kakaknya kini sedang dalam program deradikalisasi pemerintah.

"Kondisi kakak saya sangat buruk. Di sana ia melihat banyak darah. Ada perubahan yang sangat besar dalam dirinya ketika dia kembali. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri," kata Salman dalam sebuah wawancara telepon.

Berbasis di fasilitas yang aman di Saudi, program deradikalisasi menggunakan ulama untuk berdebat melawan militansi dan menyediakan kelas seni dan olahraga, di mana psikolog dapat memonitor perilaku korban jihad.

Program deradikalisasi Saudi membutuhkan dukungan keluarga agar korban jihad dapat kembali hidup di masyarakat seperti mencari pekerjaan hingga pasangan hidup. Program ini memiliki tingkat residivisme (kecenderungan individu atau kelompok mengulangi perbuatan tercela) satu dari 10, kata para pejabat Saudi.

Solidaritas muslim

Warga Saudi berperang untuk jihad karena rasa solidaritas muslim yang telah dipupuk pemerintah selama puluhan tahun sebagai penyeimbang ideologi anti-monarki sekuler, kata para analis.

Pada 1980-an pemerintah dan keluarga penguasa mendorong warga Saudi untuk bergabung dengan perang melawan pasukan Soviet yang menduduki Afghanistan. Banyak ulama, khususnya di tingkat daerah, terlibat dalam perekrutan itu.

Sekolah Islam milik pemerintah Wahhabi, yang memiliki menyiarkan pesan mengenai intoleransi dari Syiah dan non-Muslim, juga telah membuat pemikiran militan merasuki pemikiran warga Saudi.

Invasi AS ke Irak, yang menggulingkan kepemimpinan Sunni, Saddam Hussein, pada tahun 2003 dan membawa pemerintah pimpinan Syiah berkuasa, semakiin memperdalam keyakinan di antara banyak anak muda Sunni, termasuk Arab Saudi, bahwa rekan mereka mengalami penganiayaan.

"Saya melihat di televisi bahwa saudara muslim saya membutuhkan bantuan, jadi saya berpikir akan pergi dan bergabung dengan mereka," kata Ayad al-Onazi, pemuda Saudi yang menghabiskan empat tahun berjuang bersama pemberontak Irak sebelum akhirnya kelompoknya kalah akibat bertempur dengan Al-Qaidah.

Ketika ia mengatakan kepada keluarganya telah tiba di Irak pada tahun 2005, mereka memintanya untuk kembali. Tetapi ia yakin telah melakukan hal yang benar sehingg amenetap di sana sampau tahun 2009.

Sampai saat ini, ISIS semakin menekan anggotanya agar tidak pulang. Dalam video yang tersiar baru-baru ini, seorang pemuda yang teridentifikasi bernama Abu Hajr al-Jazrawi, dinobatkan ISIS untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam video tersbeut, Jazrawi mencoba untuk memberitahu orang tuanya bahwa mereka tidak akan bisa menyuruhnya kembali.

"Ayah dan ibu, selama kalian meminta saya untuk kembali dan tidak tertipu oleh ISIS, saya hanya akan mengulangi kata-kata mereka yang mengatakan: 'apakah itu orang yang saya kenal!'," kata Jazrawi dalam video yang diterjemahkan oleh SITE Monitoring.

Tidak semua keluarga Saudi sedih melihat orang yang mereka cintai akan mati menjadi pembom bunuh diri. Pada satu dekade lalu, beberapa malah membuat "perayaan" secara terbuka, kata Thomas Hegghammer, penulis buku Jihad di Arab Saudi dan seorang peneliti di Pertahanan Penelitian Pendirian Norwegia. "Teman-teman para "martir" akan menyebarkan nomor telepon agar orang dapat menelepon dan mengucapkan selamat," katanya.

"Perayaan" seperti itu tidak terjadi lagi, entah karena masyarakat yang telah berubah atau warga Saudi semakin takut dengan pihak keamanan. Namun, kampanye pemerintah yang ingin membasmi perekrutan, tidak serta membasmi gerakan di bawah tanah, sehingga sulit untuk mengetahui siapa dan mengapa mereka berangkat ke Suriah dan Irak.

"Para pejihad tidak lagi menulis banyak tentang diri mereka di dunia maya. Mereka lebih tertutup saat ini," kata Hegghammer.

Dorongan keluarga

Pada Agustus, ada informasi dari pihak berwenang yang mengatakan bahwa dua imam masjid di kota gurun kecil Tumair, sekitar 160 km dari utara Riyadh, menjadi perekrut para pejihad.

Para ulama, yang diidentifikasi di media lokal bernama Ali al-Salloum dan Hamad al-Rais, ditahan bersama enam orang lainnya di Tumair karena dicurigai bekerja untuk mengirim orang ke ISIS. Kementerian Dalam Negeri Saudi menyatakan hal tersebut tanpa mengkonfirmasikan kebenaran nama dua imam.

Hal tersebut menunjukkan ternyata jaringan agama lokal bisa menjadi ancaman dan masyarakat Saudi juga kurang sadar terhadap upaya-upaya perekrutan. Karena sangat sensitifnya isu tersebut, belum ada warga Tumair yang dapat dihubungi oleh Reuters untuk berbicara mengenai kasus ini.

Pemerintah Saudi membantu orang tua para pejuang di Suriah untuk berbagi rasa sedih mereka di televisi. Pada bulan Februari seorang wanita yang menyebut dirinya Umi Muhammad atau Ibu dari Muhammad, muncul di acara stasiun televisi populer untuk menghukum pengkhotbah penghasut yang membuat anak 17 tahunnya pergi ke Suriah.

Pemandu acara program televisi itu, Dawood Al Shirian, mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah Saudi berterimakasih atas usahanya untuk berbicara dengan korban-korban jihad. Sang anak, Misfer, akhirnya kembali ke rumah setelah melihat ibunya.

Misfer kemudian muncul di program yang sama dan mengaku bahwa ia bergabung dengan jihad setelah mendengarkan khotbah di dunia maya oleh seorang pengkhotbah berpengaruh dari Suriah.

Ia melakukan perjalanan ke Turki sendirian dan membayar penyelundup untuk membantunya menyeberangi perbatasan, namun ia kecewa karena beberapa pemberontak di kelompoknya ternyata minum alkohol.

Ali al-Afnan, psikolog yang bekerja dalam program deradikalisasi Saudi, mengatakan bahwa ikatan keluarga menjadi kekuatan untuk menghentikan orang-orang pergi berperang atau memulangkan kembali orang-orang yang telah melakukannya.

Yang perlu ditakuti oleh pemerintah saat ini, kata al-Afnan, adalah kemudahan militan dalam hal menggunakan YouTube dan Twitter untuk mengajak pemuda pergi ke Suriah atau Irak. Ini adalah masalah sama dengan pemerintahan Arab lainnya, serta negara-negara Barat yang juga berusaha untuk mencegah warganya bergabung dengann jihad radikal.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER