Washington, D.C., CNN Indonesia -- Kemenangan Partai Republik pada pemilihan paruh waktu yang menentukan Senat pada Selasa (4/11) lalu menandakan sejarah baru bagi politisi wanita Amerika. Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik AS, jumlah legislator wanita perwakilan berbagai negara bagian AS mencapai 100 orang.
Namun, menurut Frida Ghitis, kolumnis untuk
The Miami Herald dan mantan produser
CNN, jumlah tersebut masih terbilang cukup kecil dibandingkan dominasi pria di Kongres.
Saat ini, pemerintah AS mempunyai 535 legislator, yang terdiri dari 435 anggota DPR dan 100 senator. Komposisi ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% legislator AS masih didominasi oleh kaum pria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun jumlah legislator wanita di Kongres mencapai 100 orang, peningkatan jumlah legislator wanita tahun ini hanya mencapai satu persen.
Ghitis menyatakan jumlah legislator wanita dengan keahlian berpolitik di Washington yang relatif rendah harus menjadi perhatian.
Menurut data yang dimiliki Ghitis, jumlah ini merupakan yang terendah dalam sebagian besar negara maju yang mengusung azas demokrasi.
Ghitis percaya, lebih banyak wanita berkarir sebagai legislator di Capitol Hill, kinerja kongres akan semakin baik. Citra Kongres yang selama ini sering mendapat kritikan masyarakat AS juga akan semakin meningkat.
"Perempuan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk melakukan perubahan. Sementara pria yang duduk di Kongres biasanya hanya karena ingin mengejar karir politik," ujar Ghitis, seperti dikutip dari CNN, Rabu (5/11).
Pendapat senada juga diungkapkan Debbie Walsh, Kepala Pusat Studi Wanita Amerika dan Politik di Rutgers University, yang menyatakan wanita berpolitik karena ingin membuat perubahan, dan berusaha menemukan solusi atas berbagai permasalahan.
 Meskipun kini ada 100 wanita duduk di kursi Kongres AS, jumlah ini lebih rendah dibanding pemerintahan demokratis di negara maju lain. (Reuters/Brian Snyder) |
Ghitis menilai, saat ini banyak wanita yang semakin enggan duduk di Kongres, karena pesismistis lembaga tinggi negara ini dapat menghasilkan perubahan yang lebih baik untuk AS dan bukan hanya sebagai tempat perdebatan politik.
"Banyak wanita yang ingin melakukan perubahan untuk negara ini tapi tak ingin duduk di Kongres dan mencari jalan lain. Itulah mengapa tak banyak pemimpin wanita di AS," kata Ghitis.
Ghitis menilai, karir di dunia politik baru belakangan ini dilirik oleh wanita AS, sehingga saat ini baru sedikit wanita yang duduk di Capitol Hall.
Ghitis juga menyoroti fakta bahwa wanita yang ikut mencalonkan diri dari negara bagian tempat mereka tinggal, harus bersaing dengan politisi pria yang sebelumnya menjabat dan mempunyai lebih banyak koneksi.
Namun, legislator wanita dinilai lebih bisa menerima perbedaan yang terjadi dengan lawan politik mereka. Ghitis mencontohkan, politisi wanita dari Partai Demokrat dan Republik lebih sering berinteraksi dan berdiskusi melalui makan malam bersama.
"Politisi wanita dari kedua partai sering bertukar pikiran untuk menjembatani perbedaan pendapat mereka," kata Ghitis.
Ghitis menyebutkan bahwa Susan Collins lah yang memimpin sekelompok senator perempuan untuk mencari solusi ketika pemerintah AS tak bisa berfungsi pada 2003 karena anggaran negara tak disetujui.
Sejarah mencatat, Joni Ernst adalah wakil rakyat wanita pertama yang berasal dari Iowa. Sebelumnya, tidak ada politisi wanita yang menjadi wakil dari negara bagian AS yang kerap menjadi daerah pengumpul suara terbanyak bagi Partai Republik.
Ketika Joni Ernst disumpah, dia akan bergabung dengan sejumlah mantan senator wanita yang kini duduk di DPR.
Legislator wanita lainnya yang mencuri perhatian adalah Mia Love, 38 tahun, politisi Partai Republik yang ikut kebagian kursi di Kongres.
Love berasal dari keluarga imigran asal Haiti penganut Mormon yang kemudian berkarir di Utah.
Kemenangan Ernst dan Love pada Kongres pekan ini adalah tanda semakin menipisnya ketimpangan gender dalam dunia politik Amerika.
Ghitis menilai, untuk mengentaskan ketimpangan tersebut, diperlukan banyak politisi wanita dari kedua partai, baik Republik maupun Demokrat.
"Sehingga, partai manapun yang berkuasa, menjadi kemenangan untuk wanita," kata Ghitis.