Washington, CNN Indonesia -- Partai Demokrat yang mengusung Presiden Barack Obama kalah telak dari Partai Republik dalam pemilihan paruh waktu untuk menentukan anggota Kongres dan Senat di hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat.
Namun kekalahan Demokrat ini dianggap oleh banyak pengamat dan politisi justru sebagai menguntungkan Hillary Clinton, anggota Partai Demokrat, dengan membuka jalan bagi mantan menteri luar negeri itu untuk ikut mencalonkan diri pada pemilihan umum presiden 2016 mendatang.
Kekalahan Demokrat dianggap sebagai wujud menurunnya popularitas Obama yang dianggap mulai ditinggalkan para pendukungnya karena menolak berbagai kebijakannya, salah satunya reformasi imigrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak yang mengatakan bahwa reformasi imigrasi Obama yang membuka pintu bagi para imigran telah membuat para warga AS kehilangan pekerjaan dan angka pengangguran meningkat. Namun Demokrat bersikeras, langkah ini diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang lebih besar.
Buruknya reputasi Obama ini menjadikan Clinton anggota Demokrat terkuat dengan popularitas yang masih tinggi yang tersisa.
"Senat dari Republik akan menghabiskan waktu untuk mengubah kemajuan yang dibuat pemerintah Obama. Situasi ini akan menguntungkan bagi Hillary, karena dia bisa membuka perseteruan dengan Republik namun juga merebut dukungan dari para simpatisan Obama," kata ahli strategi Demokrat Erik Smith.
Sejak mengakhiri periodenya sebagai menteri luar negeri di era Obama tahun 2012 lalu, Clinton dan suaminya, mantan Presiden AS Bill Clinton, sibuk keliling negeri dan mancanegara mengumpulkan pundi uang dengan berceramah dan promo buku.
Sekali ceramah, pasangan Clinton bisa dibayar hingga US$75 ribu atau lebih dari Rp912 juta.
Menurut Paul Begala, mantan penasihat Gedung Putih untuk Bill Clinton, pasangan politisi ini mengumpulkan uang untuk melakukan kampanye mempromosikan Demokrat tahun ini.
"Dua orang ini adalah anggota Partai Demokrat paling populer di Amerika dan mereka menggunakan popularitas untuk membantu yang membutuhkan," kata Begala.
Hillary Clinton, 67, sempat bertarung di pilpres bersama Barack Obama tahun 2008 sebelum akhirnya memilih mundur.
Dia memang belum mengatakan apakah akan mencalonkan diri presiden pada 2016 atau tidak, namun dukungan terus berdatangan terutama di internet.
Salah satunya adalah dibentuknya situs readyforhillary.com oleh para pendukungnya untuk menggalang simpatisan dan donasi bagi kampanye presiden.
Survei MediaSurvei terbaru oleh media Washington Post-ABC News menunjukkan bahwa Clinton jauh mengungguli calon Partai Republik, terutama karena dia adalah sosok yang paling dikenal dan populer.
Ketika responden ditanya apakah Clinton akan menjadi presiden yang baik, 51 persen menjawab iya dan 41 persen tidak, hanya 8 persen yang mengaku tidak tahu.
Menurut pengamat, saat ini Demokrat tinggal menunggu Republikan melakukan kesalahan dalam kebijakan, agar para pemilih mengubah pilihan mereka. Jika sudah begini, Clinton yang akan untung.
"Kemungkinan apakah Republik tidak melakukan apa-apa atau melakukan kesalahan adalah kesempatan emas bagi Clinton," kata Tracy Sefl, juru kampanye Demokrat yang menjadi penasihat situs readyforhillary.com.
Beberapa orang di Partai Demokrat mendesak Clinton untuk segera mengumumkan keinginannya menjadi calon presiden 2016, agar dia segera mempekerjakan staf dan mulai mencari metode kampanye nasional.
Pemilu paruh waktu di AS digelar di tahun kedua periode kepemimpinan presiden untuk menentukan 36 anggota Senat dan 435 anggota Kongres.
Tujuan pemilu paruh waktu ini adalah untuk memperbarui dan mendiskusikan kebijakan yang dinilai stagnan. Isu-isu baru yang belum dibahas juga diangkat ke forum dewan perwakilan rakyat.
Republik berhasil mengalahkan Demokrat dengan memperoleh 45 kursi Senat dan 244 kursi Kongres dengan mengusung kampanye menguak kegagalan kepemimpinan Obama.
Dengan demikian untuk pertama kali sejak 2006 partai ini akan menguasai dua majelis di Kongres.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Partai Republik akan memaksa Obama mengurangi ambisinya dalam program-prograk eksekutif yang tidak membutuhkan persetujuan DPR, atau sektor-sektor yang bisa memerlukan dukunga bipartisan seperti kesepakatan perdagangan dan reformasi pajak.
Situasi ini juga akan menguji kemampuannya melakukan kompromi dengan lawan politiknya tersebut yang selalu menentang agenda-agenda legislatif Obama sejak dia menjadi presiden.