Naypyidaw, CNN Indonesia -- Sekjen PBB Ban Ki-moon mengatakan kepada pemerintah Myanmar pada Rabu (12/11) bahwa ia prihatin dengan kondisi Muslim Rohingya di negara itu dan meminta pejabat Myanmar menjamin akses bagi PBB untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada mereka.
Ban berada di Myanmar untuk menghadiri pertemuan konferensi tingkat tinggi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan Asia Timur (EAS). Dalam pertemuan ini, Ban menemui pejabat senior Myanmar di ibu kota Naypyidaw dan mendesak mereka untuk menghargai hak asasi warga Rohingya.
Hampir 140 ribu dari 1,1 juta warga Rohingya masih mengungsi setelah bentrokan mematikan dengan umat Buddha di negara bagian barat Rakhine pada 2012.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sangat prihatin dengan populasi Rohingya yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan," ujar Ban Ki-moon kepada wartawan seusai pertemuan.
"Saya mendesak hak asasi dan martabat orang-orang di negara bagian Rakhine harus dihormati," ujar Ban menambahkan.
Ban dan Presiden AS Barrack Obama yang juga hadir di KTT Asia Timur di Myanmar diharapkan mampu menekan Presiden Myanmar Thein Sein terkait isu tersebut dalam pertemuan terpisah pada Kamis (13/11).
Rohingya menghadapi krisis kesehatan setelah pemerintah menarik tim medis MSF (Medecins Sans Frontierer) dari Rakhine pada Februari. MSF telah merawat warga yang mereka duga merupakan korban dari kekerasan sektarian.
Pemerintah membantah serangan terjadi di Rakhine dan menuduh MSF keliru dan bias.
Meskipun pemerintah akan memperbolehkan MSF kembali ke Rakhine, namun MSF mengatakan pihaknya belum bisa melanjutkan operasi ini secara mandiri.
Akses masuk di beberapa wilayah negara masih sangat dibatasi dan membutuhkan ijin resmi dari pemerintah setempat.
Reformasi pada 2011 telah mengakhiri hampir setengah abad kekuasaan junta militer Myanmar, namun ada keprihatinan bahwa reformasi ini masih akan mengulur waktu.
Militer masih merupakan kekuatan politik yang dominan dan proses perdamaian untuk mengakhiri konflik etnis masih belum jelas arahnya.
Pemilihan umum dijadwalkan berlangsung pada 2015 mendatang, namun konstitusi rancangan militer melarang pemenang Nobel Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi Myanmar untuk ikut serta dalam pemilihan presiden tahun depan.