Shanghai, CNN Indonesia -- Badan pengawas kendali kualitas negara Tiongkok mengatakan pada Rabu (24/12) bahwa lampu hias di pesta Natal dapat membawa risiko lebih besar dibandingkan pesta meriah itu sendiri.
Sebuah tes terhadap 40 tumpuk lampu Natal menemukan bahwa lebih dari 80 persen lampu tersebut menimbulkan sengatan listrik berbahaya dan lebih dari sepertiga di antaranya tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran, menurut pernyataan Administrasi Umum Pengawasan Kualitas, Inspeksi dan Karantina.
"Dengan Natal yang sebentar lagi tiba, ada banyak lampu-lampu yang dijual di pasar. Lampu-lampu ini seringkali dililitkan ke pohon Natal yang dikelilingi oleh ornamen Natal lainnya, kabel listrik dan materi-materi yang mudah terbakar," bunyi pengaturan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan pengawas mengatakan konsumen Tiongkok harus berhati-hati memeriksa produk yang panas dan tahan api yang diberi label dengan benar oleh produsen sebelum melakukan pembelian. Jika tidak, konsumen akan menghadapi Natal yang kurang baik.
"Anak-anak dan yang lainnya dapat secara mudah meraih lampu-lampu ini dan jika ada percikan listrik, kebakaran dapat terjadi sehingga menyebabkan kerugian bagi keselamatan manusia dan juga properti," ujar pengaturan tersebut menambahkan.
Tiongkok menjadi eksportir yang cukup besar untuk pengiriman lampu Natal serta ornamen Natal lainnya ke seluruh penjuru dunia.
Salah satu kota terbesar pembuat ornamen Natal adalah kota Yiwu di provinsi Zhejiang, tenggara Tiongkok.
Di kota ini terdapat 600 pabrik penghasil ornamen Natal dan sebagian besar produk-produk yang dihasilkan dijual di Yuwi International Trade Market yang oleh PBB ditetapkan sebagai "pasar grosir komoditas kecil terbesar di seluruh dunia".
Natal bukanlah festival tradisional Tiongkok, namun semakin populer, terutama di kota-kota besar di mana anak-anak muda pergi keluar untuk merayakannya, memberi hadiah dan menghiasi rumah mereka.
Festival ini membuat ornamen Natal diperkirakan laku keras, terutama ornamen Sinterklas. Bukan karena banyak warga Tiongkok memeluk Kristen, tetapi karena sosok Sinterklas lebih dikenal ketimbang Yesus, seperti diulas The Economist.