Kabul, CNN Indonesia -- Mayor Angkatan Darat AS Eric Lightfoot, bertutas di pos penjagaan di Afghanistan Timur, sadar NATO memiliki tugas berat untuk mempersiapkan militer negara itu untuk bisa melawan para pejuang Taliban sendirian ketika misi pelatihan ini selesai dalam dua tahun.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengatakan AS, yang menjadi penyedia terbesar tentara dengan 13 ribu tentara dalam misi pelatihan ini, mungkin sebaiknya “mengkaji ulang” tenggat waktu penarikan mundur personelnya pada akhir 2016.
Pernyataan Ghani ini dikeluarkan beberapa hari setelah misi perang NATO selama 13 tahun berakhir, sehingga pasukan keamanan Afghanistan harus memimpin perang melawan militan Taliban yang bertekad menyingkirkan pemerintah dan menerapkan hukum Islam yang ketat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi Amerika Serikat menegaskan akan tetap berpegang pada rencananya itu.
Setiap hari Mayor Lightfoot bertugas di markas berdebu di pegunungan provinsi Laghman, membuat rencana dengan mitranya dari angkatan darat Afghanistan mengenai penggunaan senjata artileri D-30, senjata berat yang seharusnya menguntungkan militer Afghanistan ketika berhadapan dengan Taliban.
Namun, hingga beberapa bulan lalu, tentara Afghanistan tidak pernah mempergunakan senjata jarak jauh berkaliber 122 mm itu dengan benar, yaitu menembak target yang terletak beberapa kilometer jauhnya.
“Mereka mempergunakan senjata ini seperti tank, tembakan langsung ke arah musuh yang terlihat,” yang membantu tentara Afghanistan mempergunakan sistem mencari dan mengunci target yang terletak jauh yan cukup rumit.
“Mereka semakin ahli. Mereka sudah beberapa kali berhasil,” tambah Lightfood, merujuk pada penggunaan artileri Afghanistan dalam perang di provinsi Kunar ketika polisi dan militer negara itu berhadapan dengan militan yang terkait dengan Taliban.
Pilihan SulitMenguransi misi NATO di Afghanistan harus diiringi dengan pilihan-pilihan sulit.
Lightfoot said bahwa pasukan Afghanistan baru-baru ini meminta bantuan serangan udara AS di Kunar, karena sudah banyak korban di pihak militer dan polisi negara itu akibat serangan Taliban dari posisi yang tidak bisa dijangkau oleh artileri Afghanistan.
Amerika Serikat menolak permintaan tersebut, dan Lightfood menasihati para komandan Afghanistan untuk memindahkan senjata D-30 ke posisi yang bisa mensasar musuh.
 Tentara AS terus melatih tentara Afghanistan mempergunakan senjata canggih secara benar untuk mengatasi serangan Taliban. (Reuters/Lucas Jackson) |
“Mereka harus membiasakan diri untuk bisa berperang sendiri, tanpa bantuan,” ujarnya. “Datang ke sini beberapa bulan lagi, dan kita akan lihat bagaimana kemampuan mereka sekarang.”
Jumlah tentara NATO yang tergabung dalam Pasukan Bantuan Keamanan Internasional di Afghanistan, ISAF, mencapai puncak hingga lebih dari 130 ribu pada 2011 sebelum dikurangi secara bertahap setahun kemudian.
Menurut ISAF, pada awal 2014 terdapat sekitar 58 ribu tentara dan sekarang hanya ada sekitar 13 ribu tentara yang hanya terlibat dalam program pelatihan.
Amerika Serikat tetap mengerahkan pasukan kontra-terorisme yang bertugas memburu al Qaidah dan sasaran militan lain, demikian juga dengan serangan-serangan pesawat tak berawak dan bantuan udara terbatas bagai tentara Afghanistan berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh Presiden Barack Obama terkait misi perang terbatas pada 2015.
Akan tetapi, misi baru yang bernama “Dukungan Tegas” secara umum bertugas melatih, dan juga proses membangun sistem logistik, rantai pemasokan, perencanaan dan strategi pasukan Afghanistan.
Ini menjadi perubahan besar bagi Lightfoot dan beberapa ratus tentara AS dibantu sekitar 50 tentara Polandia yang bermarkas di Pangkalan Taktis Gamberi, provinsi Laghman yang menjadi markas NATO untuk wilayah Afghanistan timur.
Bagi kebanyakan tentara asing itu misi baru dirasakan aneh karena mereka harus berperang tanpa benar-benar turun ke medan laga.
“Kenapa Masih di Sini?”Kendaraan anti ranjau MRAP yang berharga sekitar US$1 juta per buah, terparkir di markas NATO ini.
 Meski tidak lagi terlibat pertempuran, tentara asing masih menjadi sasaran bom bunuh diri di Afghanistan. (Reuters/Parwiz) |
Tentara asing sekarang tidak pernah melakukan patroli di luar “pagar kawat”.
“Itu bukan tugas kami lagi,” kata Kapten Jarrod Morris, perwira hubungan masyarakat markas NATO.
Hanya beberapa bulan lalu, Letnan Joshua Mathews memimpin pasukan infantrinya berperang melawan pejuang Taliban dan berpatroli dengan tentara Afghanistan ketika ditempatkan di provinsi Logar.
Kini, tugas barunya di Gamberi adalah menjaga keamanan untuk penasehat militer AS.
Peperangan yang kini dia hadapi adalah menonton rekan-rekannya bermain video game pertempuran di meja kantor.
Sementara tentara asing tidak lagi terlibat langsung dengan pertempuran, mereka masih menjadi sasaran serangan.
Bahkan di Kabul, pasukan NATO selalu terbang dengan helikopter untuk pergi ke tempat berjarak 5-10 kilometer dari markas koalisi akibat ancaman serangan bom bunuh diri di jalanan.
Sekitar 100 personel keamanan Afghanistan tewas setiap minggu, tingkat yang menurut militer AS tidak bisa dibiarkan, dan pasukan keamanan asing memberi pengarahan upaya mengurangi tingkat korban tewas ini.
Sebagai perbandingan, sekitar 3.500 tentara asing tewas dalam perang Afghanistan sejak 2001, dan 2.200 diantaranya adalah tentara AS.
Di Gamberi, sekarang yang lebih banyak terjadi adalah pelatihan dan pembicaraan dibandingkan pertempuran.
Artikerry Howitzer berkaliber 155 mm yang ditempatkan di sana sudah berbulan-bulan tidak dipergunakan.
“Terakhir kali saya berbicara dengan ibu saya, dia bertanya “Kenapa kamu masih ada di sini?” kata James Dye, prajurit AS.
(yns)