Jakarta, CNN Indonesia -- Pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu) telah menerima notifikasi dari pemerintah Brasil dan Belanda untuk memanggil Duta Besar mereka di Indonesia.
Kedua surat tersebut diterima Kemlu pada Minggu (18/1).
Menurut Juru Bicara Kemlu, Arrmanatha Christiawan Nasir, surat dari Brasil diterima pada Minggu pagi, sedangkan Belanda menyusul pada sore hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Brasil dan Belanda memanggil pulang wakilnya di Indonesia setelah warga mereka dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia terkait kasus narkoba.
"Dini hari tadi KUAI (Kuasa Usaha Ad Interiim) Indonesia di Belanda juga dipanggil Kemlu Belanda tentang rencana pemanggilan pulang Dubes Belanda di Indonesia dalam rangka konsultasi," ujar Arrmanatha dalam konferensi pers di Kantor Kemlu, Jakarta, Senin (19/1).
Tata, demikian sapaan akrab Arrmanatha, menganggap pemanggilan dubes ini merupakan hak setiap negara. Namun, pihak Kemlu mengaku akan terus menjalin hubungan bilateral dengan kedua negara.
"Kami memandang dua negara tersebut sebagai sahabat. Kemlu akan terus buka jalur komunikasi dan akan terus membuka hubungan bilateral," tutur Tata.
Bukan insiden diplomatikPenarikan dubes kerap dikaitkan dengan ketakutan akan rusaknya hubungan kerja sama. Tata menegaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi bila terjadi insiden diplomatik, seperti yang terjadi antara Australia dan Indonesia pada 2013 lalu setelah kasus penyadapan telepon pejabat Indonesia oleh Australia.
Namun, dalam kasus ini, menurut Tata, konteksnya berbeda.
"Ini adalah masalah penegakan hukum, bukan insiden diplomasi. Hal ini sesuai dengan hukum nasional dan dijalankan sesuai prinsip internasional," paparnya.
Senada dengan Tata, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa, Dian Triansyah Djani, juga yakin hubungan kerja sama dengan Brasil dan Belanda akan tetap berjalan baik.
"Kerja sama ekonomi dan lain-lain tidak akan berpengaruh. Terlalu jauh kalau kita berpikir ke sana. Hubungan kita dengan Belanda sudah lama dan masih baik sampai sekarang," ucap Trian.
Tata juga menegaskan bahwa penegakan hukum Indonesia terutama dalam masalah narkoba memang harus ditegakkan.
"Masalah narkoba sudah di tahap
emergency," katanya, merujuk pada data bahwa 40-50 orang tiap hari meninggal dunia akibat narkoba di Indonesia. Pada 2013 angka penyalahgunaan narkoba mencapai 4,5 juta dan angka tersebut diperkirakan bakal melonjak hingga 5,8 juta pada 2015.
"Dari semua data, yang paling mengerikan adalah dampaknya pada generasi muda. Presentasi pemakaian terbesar di anak SD, yaitu umur 10-19 tahun," papar Tata.
Karena itu, pemerintah berkomitmen untuk memberantas peredaran narkoba di Indonesia. Tak hanya warga luar negeri, tapi juga WNI.
Pada Minggu (18/1) pukul 00.30 WIB, pemerintah telah mengeksekusi mati lima terpidana kasus narkoba di bekas area Lembaga Pemasyarakatan (LP) Limus Buntu, Nusa Kambangan, Cilacap. Kelima orang tersebut adalah Ang Kiem Soe, warga negara Belanda; Namaona Denis, warga Malawi; Marco Archer Cardoso Moreira, warga Brazil; Daniel Enemuo, warga Nigeria, dan satu orang warga negara Indonesia, Rani Andriani, wanita asal Cianjur.
Enam belas menit kemudian, eksekusi terhadap warga negara Vietnam, Tran Thi Bich Hahn, juga dilaksanakan di Boyolali, Jawa Tengah.
(stu)