Kairo, CNN Indonesia -- Pengadilan Mesir memvonis mati 183 pendukung Ikhwanul Muslimin pada Senin (2/2) atas gugatan pembunuhan polisi dua tahun lalu. Vonis ini dijatuhkan sebagai upaya pemerintah Mesir memberangus kelompok Islam garis keras.
Ratusan tervonis mati ini dituduh terlibat dalam pembunuhan 16 polisi di kota Kardasa pada Agustus 2013 selama kerusuhan usai digulingkannya Mohammed Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Tidak semua terdakwa hadir di pengadilan, 34 di antaranya divonis
in absentia.
Setelah Mursi lengser, pemerintah Mesir yang dipimpin Abdel Fattah al-Sisi menangkapi ribuan anggota Ikhwanul Muslimin dan mengadili mereka secara massal. Penangkapan ini disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah dunia modern.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa ini adalah cara sistematis pemerintah Mesir dalam menekan oposisi.
"Vonis mati hari ini adalah satu lagi contoh sistem pengadilan kriminal Mesir yang bias. Vonis ini harus dibatalkan dan semua tertuduh diadili di pengadilan yang memenuhi standar internasional yang adil dan tidak ada hukuman mati," kata Hassiba Hadj Sahraoui, Wakil Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, dikutip Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selang sehari sebelumnya, wartawan Al Jazeera Peter Greste dibebaskan setelah dipenjara 400 hari di Mesir atas tuduhan membantu kelompok teroris. Dua wartawan Al Jazeera lainnya masih dibui.
Kondisi keamanan Mesir juga masih mencekam. Kelompok ISIS cabang Mesir mengklaim bertanggung jawab atas serangan pekan lalu yang menewaskan sedikitnya 27 orang.
Pemerintah Mesir menganggap ISIS, Ikhwanul Muslim dan al-Qaeda, tidak jauh berbeda karena memiliki ideologi yang sama berbahayanya.
Presiden Sisi mengatakan Ikhwanul Muslimin adalah ancaman keamanan besar. Menurut Sisi, kelompok yang dilarang keberadaannya di Mesir itu telah memicu kekerasan dan dia menegaskan bahwa perang melawan militan akan lama dan melelahkan.
(stu)