Jakarta, CNN Indonesia -- Pembahasan terkait kontraterorisme tak pelak menjadi salah satu agenda yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Irak, Ibrahim al-Jafaari dalam pertemuan pejabat tinggi pada peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika di Jakarta.
Sesaat setelah pertemuan tersebut, Jafaari mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 62 negara yang warganya terlibat dengan kelompok militan ISIS.
"Kami menyatakan ada keterlibatan sekitar 62 negara dalam ISIS, dan kita semua harus bekerja sama untuk mencegah (keterlibatan) seperti itu," kata Jafaari di Gedung Jakarta Convention Center, Ahad (19/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Jafaari, keterlibatan 62 negara dalam ISIS tidak serta merta mewakili negara masing-masing, melainkan hanya warga atau individu yang berasal dari negara itu.
Jafaari memaparkan bahwa fenomena terorisme seperti ISIS bukan merupakan akibat dari paham sektarian yang berseberangan. Radikalisme ISIS, Jafari menilai, merupakan sebuah tindakan kebiadaban yang anti kemanusiaan.
"Di Irak, sejumlah provinsi yang menjadi korban ISIS merupakan provinsi Sunni. Jadi ini bukan konflik Syiah maupun Sunni. Karena semua agama juga ikut merasa dirugikan oleh ISIS. Putra dari Umat Yazidi dan agama lain juga ikut dibunuh dan dibakar," kata Jafaari.
"Ketika kita menyaksikan adanya pembunuhan dan pemotongan kepala, penganiayaan kepada warga yang tidak berdosa, terhadap anak-anak kecil, tentunya tak perlu lagi kami tegaskan mengenai kekejaman dan kebiadaban ISIS. Kita semua menyaksikan kekejaman itu," kata Jafaari.
Koalisi internasionalDalam kesempatan tersebut, Jafaari mengungkapkan bahwa baik Indonesia maupun Irak tengah berupaya menciptakan kerja sama di bidang penanggulangan terorisme.
Jafaari berharap Indonesia dapat bergabung dengan koalisi internasional yang sudah dibentuk untuk memberangus ISIS di Irak maupun Suriah.
"Ada Tiongkok, ada Iran dan negara lainnya. Semuanya bekerja sama untuk menghadapi tantangan besar ini," kata Jafaari.
Sejak September 2014, sejumlah negara telah bergabung di koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat. Di Irak, perebutan wilayah antara militer dan ISIS terus terjadi di sejumlah wilayah setelah ISIS berhasil dipukul mundur dari Kota Tikrit.
"Kebiadaban mereka harus kita balas dengan kekuatan militer," kata Jafaari.
Dua juta pengungsi
Selain dukungan militer, Jafaari juga menyatakan bahwa Irak membutuhkan dukungan lainnya, berupa informasi intelijen dan kemanusiaan. Pasalnya, jumlah pengungsi Irak akibat terorisme ISIS telah mencapai dua juta orang.
"Tentunya kita masih membutuhkan bantuan bagi sektor keamanan militer dalam hal persenjataan udara. Kami juga membutuhkan informasi intelijen dan dukungan kemanusiaan karena kami memiliki dua juta pengungsi," kata Jafaari.
Jafaari memaparkan dua cara untuk menghadapi ISIS. Pertama, mengubah sudut pandang dalam menghadapi perbedaan pendapat atau keyakinan.
"Kita tahu bahwa latar belakang ISIS bermula dari menganggap halal darah mereka yang berbeda pendapat, baik mahzab maupun agama. Perlu ada sosialisasi untuk mengangkat nilai-nilai Islam yang cinta dan toleran terhadap keyakinan lain. Ini adalah satu poin yang sangat penting," kata Jafaari.
Selain itu, Jafaari menambahkan propaganda media yang gencar diluncurkan ISIS untuk merekrut militan perlu dibalas juga dengan perlawanan melalui media. Dia juga menyesalkan soal fenomena citra negatif tentang sosok kepribadian Nabi Muhammad dalam media akibat perbuatan buruk ISIS.
"Kita perlu lawan ini karena kita tahu bahwa Rasul merupakan seorang pembela hak-hak perempuan dan ini semua dicoreng oleh media barat yang selalu berbuat seperti itu," kata Jafari melanjutkan.
Selain pembahasan terkait kontraterorisme, Jafaari mengungkapkan isu lainnya juga dibahas dalam pertemuan pejabat tinggi di KAA, seperti masalah perekonomian, keamanan dan kerja sama di bidang lainnya.
(den)