Partai Kecil, Pemecah Suara dan Penentu Pemilu Inggris

yns | CNN Indonesia
Kamis, 07 Mei 2015 20:16 WIB
Jika biasanya mayoritas suara diraup Partai Konservatif dan Partai Buruh, maka partai kecil menarik pemilih dan menjadi pemecah suara pemilu Inggris kali ini.
Jika biasanya mayoritas suara diraup Partai Konservatif dan Partai Buruh, maka partai kecil menarik pemilih dan menjadi pemecah suara pemilu Inggris kali ini. (Reuters/Cathal McNaughton)
Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti jutaan pemilih Inggris lainnya, Karl Wakeman mendukung partai Konservatif pimpinan Margaret Tatcher pada 1980-an, dan kemudian Partai Buruh Baru pimpinan Tony Blair di akhir 1990-an.

Namun kini, Wakeman tidak mendukung kedua partai yang selama beberapa dekade menguasai panggung politik Inggris tersebut.

Wakeman berpandangan, pemerintahan Partai Buruh terakhir gagal dalam menangani Uni Eropa, imigrasi massal dan juga sektor finansial negara itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia memandang pemerintah koalisi pimpinan Partai Konservatif yang sekarang berkuasa hanya sedikit lebih baik dari pemerintah sebelumnya.

“Mereka bisa mengatakan perekonomian sekarang baik, tetapi hal itu tidak dirasakan oleh orang-orang seperti saya,” kata dia.

Setelah lulus sekolah dia langsung bekerja, menikah dan kini memiliki dua anak. Dia sudah melunasi cicilan rumahnya dan selalu memiliki pekerjaan, hingga baru-baru ini.

Mantan pegawai perusahaan penyewaan peralatan bangunan ini sudah dua kali terkena PHK dalam 18 bulan terakhir. Dia merasa tidak diperhatikan dan kecewa.

“Partai-partai besar tidak tertarik mengurus warga seperti saya,” ujar Wakeman.

Itu sebabnya Wakeman memutuskan untuk memilih Partai Kemerdekaan Inggris Raya, UKIP, di hari pemungutan suara pada 7 Mei.

UKIP adalah kelompok populis yang menentang Uni Eropa dan imigrasi masal. Tampaknya banyak warga Inggris yang memiliki pilihan sama dengan Wakeman. (Reuters/Cathal McNaughton)
Meski UKIP hanya mendapatkan 3,1 persen suara pada pemilu 2010, jajak pendapat kali ini menyebutkan partai itu bisa meraih 13 persen. Partai ini menyedot suara terbesar dari warga yang biasanya memilih Partai Konservatif, dan sedikit suara dari Partai Buruh.

UKIP bukan satu-satunya pemecah komposisi panggung politik Inggris. Partai Nasional Skotlandia, SNP, yang hanya memenangkan 1,7 persen suara dan mendapat enam kursi parlemen pada 2010, kini menjadi populer.

Jajak pendapat memperlihatkan partai ini bisa memenangkan 40 kursi lebih, dari 59 jatah kursi untuk Skotlandia di parlemen nasional.

Kemenangan ini akan membuat SNP memiliki suara lebih besar dalam pembentukan pemerintah baru, membuat nasib 38 juta penduduk Inggris berada di tangan empat juta warga Skotlandia.

Ambruknya penguasa lama memiliki dampak luas dan tidak diduga bagi masa depan negara kerajaan ini.

Kebijakan utama SNP adalah membawa Skotlandia keluar dari Inggris Raya dan membuatnya lebih merdeka. Tujuan yang hampir tercapai dalam referendum yang dilaksanakan tahun lalu.

UKIP ingin mengeluarkan Inggris Raya dari Uni Eropa. Pengaruh partai ini menyebabkan Perdana Menteri David Cameron menawarkan referendum terkait keanggotaan Inggris Raya di Uni Eropa jika partai Konservatif membentuk pemerintah baru.

Dukungan yang semakin besar terhadap Partai Hijau dan dukungan pasti bagi Plaid Cymru yang menginginkan kemerdekaan bagi Wales semakin menurunkan dukungan terhadap Konservatif, Buruh dan Liberal Demokrat.

Partai Liberal Demokrat secara tradisional merupakan partai ketiga terbesar dan mitra junior dalam pemerintahan koalisi yang sekarang berkuasa.

Roy Hattersley, mantan wakil ketua Partai Buruh dan politisi sejak tahun 1960-an mengatakan era Partai Konservatif dan Partai Buruh bergantian dalam memerintah Inggris Raya kini sudah berakhir.

“Ini perubahan yang sangat besar,” ujar Hattersley.

Dia mengatakan ketika politik nasional retak, risiko perpecahan Inggris Raya pun meningkat.

“Akan sangat sulit mengalahkan langkah untuk memerdekakan Skotlandia di masa depan.”

Pada 1950-an Partai Konservatif dan Partai Buruh meraih lebih dari 90 persen suara di Gloucester, namun sekarang mendapatkan 75 persen suara saja sudah merupakan keberuntungan. (Reuters/Peter Nicholls)
Perubahan Dukungan

Di katedral tua kota Gloucester, tempat anggota parlemen dikepung oleh kelompok pendukung kerajaan semasa Perang Saudara Inggris pada 1643, panggung politik sejak lama berimbang dengan rata.

Sejak 1950-an hingga 1970-an kursi anggota parlemen berpindah-pindah antara partai Buruh dan Partai Konservatif.

Sejak 1970 kota ini menjadi penentu pemilu: Partai yang menang di kota ini akan memenangkan pemilu nasional dan membentuk pemerintah.

Kali ini, pertarungan di Gloucester sangat ketat karena partai-partai kecil menarik dukungan yang biasanya diberikan ke partai-partai besar.

Pada 1950-an Partai Konservatif dan Partai Buruh meraih lebih dari 90 persen suara di Gloucester, namun sekarang mendapatkan 75 persen suara saja sudah merupakan keberuntungan.

Lord Ashscroft mengatakan jajak pendapat yang dilakukannya menunjukkan bahwa UKIP mendapat dukungan 12 persen atau lebih di Gloucester, sementara Liberal Demokrat mendapatkan sembilan persen dan Partai Hijau tiga persen.

Sistem first-past-the-post

Sebenarnya, Inggris Raya tidak pernah benar-benar menjadi negara dua partai sejak 1970-an. Pada 1974, SNP mendobrak kejayaan Partai Buruh dan Partai Konservatif dengan memenangkan tujuh kursi parlemen.

Pada 1977 pemerintahan Partai Buruh harus membuat kesepakatan dengan Partai Liberal untuk bisa bertahan. Dan pada 1980-an, sejumlah anggota Partai Buruh memisahkan diri untuk membentuk satu kelompok baru yang akhirnya bersatu dengan Partai Liberal untuk membentuk Partai Liberal Demokrat.

Meski demikian, sistem pemilu Inggris Raya membuat pemilu berakhir dengan satu partai yang berkuasa. Sistem ini dikenal dengan nama first-past-the-post, atau pemenang setiap daerah pemilihan mendapatkan satu kursi di parlemen.

Sementara kandidat yang kalah tidak mendapatkan apapun. Hal ini bisa membuat partai-partai kecil hanya menempatkan sedikit wakil di parlemen, atau bahkan tidak ada wakil sama sekali, bahkan jika mereka memenangkan jumlah suara yang besar di seluruh wilayah sekalipun.

Metode first-past-the-post ini menutupi perubahan bertahap dalam dukungan politik yang terjadi akibat perubahan sosial dan ekonomi. Terutama ketika kelas sosial di Inggris Raya semakin tidak jelas dalam beberapa dekade terakhir.

“Pembagian kelas sosial sekarang berbeda dan tidak lagi penting seperti di masa lalu,” ujar John Curtice, guru besar politik dari Universitas Strathclyde.

“Pada 1980-an Partai Buruh masih merupakan partai kelas pekerja. Sekarang sudah tidak seperti itu.”

Partai Konservatif pimpinan David Cameron menarik para pemilih liberal dengan kebijakan-kebijakan yang lebih progresif secara sosial di bidang seperti lingkungan dan pernikahan sesama jenis. (Reuters/Adrian Dennis)
Partai bermutasi

Di bawah kepemimpinan Tony Blair, Partai Buruh bergerak ke aliran politik tengah dan “sangat tidak berkeberatan dengan orang yang menjadi kaya raya,” seperti yang pernah digambarkan oleh Peter Mandelson, pendukung utama aliran Blairite.
 
Partai Buruh baru berjuang untuk meningkatkan standar pendidikan dan mobilitas sosial: Jumlah anak muda yang memutuskan untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi meningkat dari 39 persen pada 1999 menjadi 49 persen saat ini.

Ketika industri menurun dan pekerjaan di kantoran bertambah, perbedaan kelas pun hilang dan partai-partai politik pun bermutasi.

Sementara Partai Buruh pimpinan Tony Blair merengkuh tokoh-tokoh keuangan dan dari dunia keuangan kota London, Partai Konservatif pimpinan David Cameron menarik para pemilih liberal dengan kebijakan-kebijakan yang lebih progresif secara sosial di bidang seperti lingkungan dan pernikahan sesama jenis.

Rob Ford, pengajar ilmu politik Universitas Manchester mengatakan bahwa bagi warga di daerah miskin, Partai Buruh bukan lagi partai kaum buruh.

“Mereka merasa Partai Buruh adalah seperti partai lain yang mewakili kota-kota seperti London, Edinburgh atau Manchester, penuh dengan lulusan universitas yang tidak mengerti sama sekali perjuangan yang mereka alami.”

John Curtice mengatakan bahwa kini UKIP, yang mendapat dukungan besar dari kaum manula, pemilih berkulit putih berpendidikan rendah, menjadi partai pilihan kelas pekerja.

Di Barton dan Tredwordh, wilayah miskin di kota Gloucester, UKIP bahkan  mendapat dukungan dari kelompok etnis minoritas meski partai ini berpandangan anti-imigrasi.

Harjit Gill, warga asal India yang pindah ke Inggris beberapa dekade lalu, meninggalkan Partai Buruh awal tahun ini dan sekarang mendukung UKIP.

Ketua UKIP Nigel Farage lebih memilih segelas bir dan berbicara apa adanya dibandingkan berkata-kata dengan santun. Dia mengatakan berbagai masalah seperti masalah perumahan dan beban Layanan Kesehatan Nasional, disebabkan oleh peningkatan imigrasi dalam 15 tahun terakhir.

Gill sepakat dengan pandangan itu: “Partai Buruh dan Partai Konservatif hanya mencari alasan. Kemudian saya melihat Farage. Saya seorang imigran. Tetapi pendapat dia benar.”

Rob Ford, pengajar ilmu politik Universitas Manchester mengatakan bahwa bagi warga di daerah miskin, Partai Buruh bukan lagi partai kaum buruh. (Reuters/Darren Staples)
Kegagalan kekuasaan

Penguasa panggung politik Inggris Raya lama ini juga disapu oleh gelombang teknologi dan globalisasi.

Para pemilih sekarang lebih terbuka dengan dunia luar dan lebih lantang bersuara.

“Kita melihat ada perasaan yang berkembang bahwa para politisi tidak lagi memenuhi janji mereka, dan menurut saya hal ini merupakan faktor paling penting,” ujar Hattersley, mantan wakil ketua Partai Buruh dan kini duduk di majelis tinggi parlemen Inggris.

“Ekonomi multinasional, perusahaan multinasional, internet telah mengambil kekuasaan dari tangan politisi. Rakyat pun kemudian memandang para politisi tidak lagi memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk melaksanakan keinginan rakyat.”

Satu warga yang merasa tidak puas dan bersedia melakukan eksperimen adalah Craig Higley, warga Gloucester yang sebelumnya mendukung Partai Buruh. Dia memutuskan untuk memberi suaranya kepada Partai Hijau.

Dia mengatakan Partai Buruh dan Partai Konservatif tidak bisa melakukan perubahan berarti dan hanya saling menyalahkan ketika membicarakan masalah yang dihadapi negara ini. “Hal itu membuat saya tidak menyukai keduanya,” ujar Higley.

Sementara globalisasi mengambil alih kekuasaan dari para politisi, nasionalisme menjadi semakin penting.

Pemilih Skotlandia

Di kota Glasgow, Skotlandia, Stewart MacLennan yang berusia 64 tahun selalu mendukung Partai Buruh dan pernah menjadi kandidat partai itu pada pemilu 1992.

Kini dia memutuskan untuk memilih SNP.

Dia mengatakan selama bertahun-tahun Partai Buruh mendominasi politik di Skotlandia, namun kemudian menjadi lengah.

Para pemilih Skotlandia terutama kecewa dengan Partai Buruh Baru pimpinan Tony Blair dan pemicu paling akhir adalah penentangan partai ini atas kampanye SNP untuk mendapatkan kemerdekaan bagi Skotlandia tahun lalu.

Hal ini menurut MacLennan “menyebabkan kebencian di kalangan pendukung Partai Buruh (di Skotlandia).”

SNP tampaknya “menerapkan motif dan prinsip yang sebelumnya dianut oleh Partai Buruh. Mereka lebih beraliran sosial demokrat,” ujar MacLennan.

Dalam pemilu 2010 Partai Buruh meraih 41 kursi dari 59 kursi di Skotlandia. Jajak pendapat memperlihatkan bahwa SNP bisa menghancurkan dominasi Partai Buruh di wilayah tersebut dalam pemilu kali ini.

Dan kursi ini sangat penting bagi upaya Ed Miliband menjadi perdana menteri dengan suara mayoritas di Parlemen.

Bahkan ketua Partai Buruh di Skotlandia pun kemungkinan kehilangan kursi parlemennya.

Di Inggris, dimana SNP tidak memiliki kandidat, para pemilih khawatir dengan kemungkinan pengaruh partai Skotlandia ini dalam pemerintahan mendatang.

Di Gloucester, yang terletak lebih dari 400 kilometer dari Skotlandia, Sophy Gardner kandidat Partai Buruh mengatakan: “SNP tidak populer di Gloucester. Warga ingin saya memberi jaminan jelas bahwa Partai Buruh tidak akan membentuk koalisi dengan SNP.”

Miliband pun telah menegaskan tidak akan membentuk koalisi resmi dengan SNP, tetapi memberi ruang untuk membuat kesepakatan yang lebih longgar.

Partai Konservatif tidak memandang Skotlandia terlalu penting: partai ini hanya meraih satu kursi dari wilayah itu dalam pemilu 2010.

Ancaman terbesar Partai Konservatif justru datang dari UKIP, yang dampaknya sulit dikalkulasi karena partai ini menarik suara dari pendukung berbagai partai.

Perusahaan jajak pendapat YouGov menyebutkan bahwa sekitar 45 persen warga yang berubah menjadi pendukung UKIP sejak 2010 berasal dari Partai Konservatif, 17 persen dari Partai Liberal Demokrat, 15 persen dari Partai Buruh dan 15 persen adalah warga yang belum pernah memilih.

Bagaimana pendukung yang campur aduk ini akan berdampak di daerah pemilihan marjinal masih belum jelas. Para pakar jajak pendapat memperkirakan UKIP hanya akan mendapat sedikit kursi.

Tetapi suara yang berhasil diambil akan berdampak negatif pada partai-partai lain.

Martin Baxter dari Electoral Calculus secara kasar memperkirakan bahwa kebangkitan UKIP “bisa membuat Partai Konservatif secara keseluruhan kehilangan 30 kursi.”

Kepala Institut Penelitian Kebijakan Publik Nick Pearce mengataka jika UKIP akhirnya hanya meraih satu atau dua kursi pun, partai ini akan tampil sebagai peraih suara kedua terbesar di sejumlah daerah pemilihan.

Hal ini akan memberi UKIP satu landasan untuk menjadi penantang yang lebih serius di masa depan.

Di Inggris, dimana SNP tidak memiliki kandidat, para pemilih khawatir dengan kemungkinan pengaruh partai Skotlandia ini dalam pemerintahan mendatang. (Reuters/Russell Cheyne)
Era Baru

Kecuali ada perolehan suara dramatis dengan tiba-tiba, tidak ada partai yang akan memiliki kursi mayoritas dalam pemilu kali ini.

Untuk menjadi mayoritas, satu partai harus memenangkan 323 kursi tetapi Partai Konservatif dan Partai Buruh hanya diperkirakan memperoleh kursi 280.

Dengan demikian, muncul berbagai kemungkinan hasil pemilu. Kesepakatan dengan SNP akan membuat Partai Buruh memegang pemerintahan. Partai Konservatif kemungkinan akan bisa mempertahankan kekuasaan dengan bantuan dari Partai Liberal Demokrat atau UKIP dan partai-partai kecil lain.

Sejumlah pengamat bahkan mengangankan koalisi luar biasa antara Konservatif dan Buruh.

Apapun yang terjadi, keretakan politik ini memperkuat pandangan bahwa sistem pemilihan umum di Inggris Raya harus direformasi.

Ruth Fox, direktur Handsard Society yang mempelajari pengaruh politik dan hasil kerja parlemen, memandang bahwa para politisi akan harus “mengatasi masalah ketidakseimbangan” kekuasaan antara England, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara.

Menurutnya “penyatuan potongan-potongan kain” yang saat ini diterapkan tidak berhasil.

Vernon Bogdanor, guru besar ilmu pemerintahan dari King’s College, London, mengatakan, sistem pemilu Inggris “tidak bisa diterapkan dalam sistem multi-partai yang sekarang ada.”

Dia mengusulkan, Inggris harus melaksanakan satu “kesepakatan konstitusional” yang bertujuan mengatasi masalah-masalah tersebut.

Dalam referendum 2011, rakyat Inggris Raya menolak mengubah sistem pemilihan first-past-the-post.

Namun pemilu kali ini tampaknya akan menciptakan satu anomali yang tidak bisa dibiarkan.

UKIP bisa memenangkan 10 persen suara di tingkat nasional dan hanya mendapat tiga kursi atau lebih kecil. Sementara, SNP bisa mendapat 40 kursi dari hanya tiga persen suara yang diperolehnya karena pendukungnnya berpusat di daerah pemilihan yang lebih sedikit.

“Hal ini akan membuka perdebatan apakah kita akan tetap mempergunakan sistem first-past-the-post,” ujar Fox dari Handsard Society.

Dia memandang politik Inggris Raya kini telah memasuki era baru.

“Kita tidak akan kembali ke masa dimana dua partai mendapatkan 80 atau 90 persen suara.

Saya tidak yakin hal itu akan terjadi lagi,” katanya. “Ini seperti satu perubahan yang hanya terjadi sekali dalam satu abad.”

(yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER