Jakarta, CNN Indonesia -- Perdana Menteri Libya, Abdullah al-Thinni mengatakan di sebuah wawancara televisi bahwa ia akan mundur dari jabatannya, setelah pembawa acara tersebut mengemukakan pertanyaan dari warga yang marah dan mengkritisi kabinetnya tidak efektif.
"Saya secara resmi berhenti dan akan memberikan pengunduran diri saya kepada DPR pada Minggu," kata Thinni dalam wawancara dengan Libya channel, sebuah stasiun TV swasta pada Selasa (11/8).
Selama wawancara di TV, Thinni marah ketika pembawa acara menanyakan sejumlah pertanyaan dan kritik terhadap pemerintahannya yang dianggap masih memiliki banyak kekurangan, utamanya di bidang keamanan, layanan pemerintah dan penanganan bagi pengungsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika pembawa acara menanyakan Thinni apa yang akan dia lakukan jika ada unjuk rasa, Thinni menjawab bahwa ia akan turun dari jabatannya.
"Masyarakat tidak perlu protes karena saya akan secara resmi berhenti dari posisi saya," kata Thinni.
"Mereka bisa menunjuk perdana menteri baru yang memiliki sihir untuk menyelesaikan semua masalah ini," tambahnya.
Namun, juru bicara pemerintah Libya, Harem al-Arabi mengatakan bahwa Thinni hanya akan berhenti jika masyarakat memintanya untuk turun. Kontradiksi antar pejabat Libya semacam ini kerap terjadi di negara yang tengah kisruh ini, sehingga informasi akurat sangat susah didapatkan.
"Thinni belum secara resmi berhenti menjabat, dia mengatakan dalam sebuah wawancara tv bahwa ia hanya akan berhenti jika masyarakat memintanya," kata Arabi.
"Pengunduran diri harus ditulis dan dikirim ke DPR, setelah itu mereka akan menentukan apakah permintaan tersebut dapat dipenuhi atau tidak," kata Arabi melanjutkan.
Thinni dan pemerintahannya berbasis di timur Libya setelah melarikan diri dari ibu kota Tripoli setahun lalu karena wilayah itu diambil alih oleh kelompok bersenjata Libya Dawn yang mengklaim mendirikan pemerintahan saingan. Kisruh ini merupakan bagian dari kekacauan yang telah berlangsung selama empat tahun di Libya, setelah Muammar Gaddafi tersingkir.
Sehingga, kementerian dan gedung penting di Tripoli saat ini berada di bawah kekuasaan pemerintah saingan, dengan perdana menteri yang belum diakui oleh dunia.
Thinni menjabat sebagai PM sejak Maret 2014 dan sempat mengatakan bahwa ia akan berhenti menjabat pada April 2014 karena keluarganya diserang, namun kemudian berubah pikiran dan terus menjabat hingga saat ini.
Kabinetnya Thinni bersusah payah untuk memberikan dampak positif dan bekerja di kota kecil di Bayda. Sementara, warga mengeluh kekurangan bahan bakar dan situasi keamanan yang semakin memburuk.
Wilayah timur Libya tengah dilanda kekacauan akibat pertempuran antara pasukan sekutu Thinni dan berbagai kelompok militan, mengakibatkan berhentinya impor gandum dan bahan bakar. Kekacauan tersebut juga menganggu jaringan listrik.
Selain itu, Libya sedang bersusah payah mengatasi masalah krisis keuangan publik karena kekacauan tersebut telah mengurangi produksi minyak sebanyak seperempat dari produksi minyak Libya sebelum Gaddafi dijatuhkan.
Pengamat menilai kabinet Thinni seringkali mengeluarkan pernyataan yang tidak relevan. Pada Senin (10/8), pemerintahan Thinni mengatakan bahwa Bandara Internasional Tripoli akan mengganti namanya dengan menggunakan nama King Idris, yang pada 1969 dijatuhkan oleh Gaddafi.
Bandara tersebut sudah tidak beroperasi lagi sejak dirusak ketika faksi saingan mengambil alih Tripoli setahun yang lalu. Bahkan, administrasi Thinni tidak memiliki kontrol atas bandara tersebut.
"Pemerintahan Thinni adalah kegagalan," kata seorang anggota parlemen Benghazi, Amal Bayou dalam akun Facebook miliknya, sebagai reaksi atas pengumuman pengunduran diri Thinni, dan menyebut Thinni tidak kompeten.
(ama/ama)