Pembelot Korut: Harus Bertepuk Tangan agar Tetap Hidup

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Jumat, 16 Okt 2015 16:30 WIB
Seorang mantan tentara Korea Utara yang membelot ke Korea Selatan menceritakan kisahnya hidup di bawah rezim Kim Jong Un.
Pembelot Korea Utara memaparkan bahwa rezim Kim Jong Un menuntut kesetiaan total dan menerapkan eksekusi publik. (Reuters/KCNA)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dipaksa untuk menyaksikan eksekusi publik dan dipukuli selama 15 hari setelah upaya pertama untuk melarikan diri gagal, seorang mantan tentara Korea Utara yang membelot ke Korea Selatan menceritakan pengalamannya hidup mengerikan di bawah rezim Kim Jong Un.

Berbincang khusus kepada Sky News, sang pembelot berharap suatu hari nanti dapat kembali berkumpul dengan keluarganya yang masih tinggal di Korea Utara.

Mengenakan topi, dan beberapa kali mengecek telepon genggamnya, sang pembelot meminta agar wajahnya tidak difoto, dan namanya tidak dipublikasikan. Ketika membelot ke Korsel tahun lalu, dia harus meninggalkan anak dan dua putrinya, dan kini dia mengkhawatirkan hidup mereka jika identitasnya terungkap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sang pembelot memaparkan bahwa dia telah bergabung dengan militer Korea Utara selama dua dekade, sebelum akhirnya berhasil melarikan diri dari negara yang terisolasi itu.

Ketika ditanya pendapatnya soal parade militer besar-besaran yang diselenggarakan di Pyongyang pekan lalu, sang pembelot menyatakan semua orang harus bertepuk tangan untuk menyambut sang pemimpin negara.

"Jika Anda tidak bertepuk tangan ketika semua bertepuk tangan, apalagi jika Anda tertidur, Anda akan ditandai dan dinilai tidak mengikuti doktrin Kim Jong-Un," kata sang pembelot, dikutip dari Sky News, Jumat (16/10).

"Anda harus melakukan hal itu karena Anda tidak ingin mati. Anda harus menyanyikan lagu 'Long Live' dan bertepuk tangan karena Anda tidak ingin mati," ujarnya.

Menurut sang pembelot, dibalik semua kesan pengabdian terhadap sang pemimpin yang ditunjukkan oleh warga Korea Utara, terselip kediktatoran yang brutal.

Dia memaparkan rezim Kim menuntut kesetiaan total dan menerapkan eksekusi publik. "Dalam unit kami, ketika saya masih menjadi letnan, kami harus melihat salah satu dari tentara kita sendiri ditembak mati," katanya.

Di bawah rezim Kim, katanya, warga menjadi lebih takut. "Ketika Kim Jong-Un melakukan sesuatu yang salah, jika warga tidak hidup dengan makmur, ia menunjuk orang lain dan berkata 'Kamu salah.' Dan karena itu warga tak bersalah dihukum atau dieksekusi," katanya.

Hidup miskin, sang pembelot mengingat dia harus memakai serangam yang penuh tambalan saat berangkat ke sekolah dahulu. Namun, dia tak lupa menerima sepatu baru setiap hari ulang tahun Kim Il-Sung. Ketika pendiri Korut itu meninggal, semuanya berubah.

Tekadnya untuk membelot didorong oleh keputusasaan. Dia harus berjuang untuk mencari makan. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyeberangi perbatasan China, bekerja hingga mendapatkan uang dan mengirimkannya kembali ke Korea Utara.

Setelah ditangkap dan dipukuli selama 15 hari ketika gagal menyebrangi perbatasan, dia mencoba lagi dengan rencana yang lebih matang.

Sebelum berangkat, dia berpesan ke anak dan istrinya untuk mengaku mereka tidak mengetahui apapun soal rencananya. Berangkat ketika tengah malam, sang pembelot harus menuruni tebing setinggi 150 meter dan mengarungi sungai Amok dalam gelap demi mencapai perbatasan.

"Airnya setinggi ini," katanya, sembari menunjuk di atas kepalanya.

"Ketika air begitu tinggi, pengawasan tidak begitu ketat," katanya.

"Setelah akhirnya menjejakkan kaki ke tanah, saya menyadari saya tidak bisa menyebrangi sungai Amok lagi untuk kembali. Saya menangis mengingat istri dan anak saya, takut mereka akan dipenjara," katanya.

Tetap berharap

Hidup di Korsel bukan berarti tanpa perjuangan. Sang pembelot tinggal sendiri di rumah susun sempit, dan hanya memiliki satu cangkir, satu mangkuk, dan satu piring sup.

Semenjang membelot, dia belum berbicara kepada anak-anaknya dan hanya sesekali melakukan kontak telepon singkat dengan istrinya.

Sementara di sudut tempat tidurnya, terdapat sebuah celengan yang tertulis, "Memikirkanmu, Kyung-Ae", nama putri bungsunya.

Sang pembelot mengaku mengambil pekerjaan dengan jam kerja yang lebih panjang, untuk mendapatkan lebih banyak uang.

"Saya mendapat telepon pada bulan Agustus. Mereka hidup di tempat lain selama enam bulan," kata sang pembelot, ketika ditanya apakah keluarganya masih hidup.

Sang pembelot berharap dapat membawa keluarganya keluar dari Korea Utara, dan mengaku kerap membayangkan dia akan berkumpul kembali bersama keluarganya. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER