Pertemuan Xi Jinping dan Ma Ying-jeou Bayangi Pemilu Taiwan

Melodya Apriliana/Reuters | CNN Indonesia
Jumat, 06 Nov 2015 11:03 WIB
Pertama kali sejak 1949, pemimpin China dan Taiwan akan bertemu. Oposisi menuding ada agenda tersembunyi untuk mempengaruhi pemilu Taiwan di Januari mendatang.
Pertama kali sejak 1949, pemimpin China dan Taiwan akan bertemu. Oposisi menuding ada agenda tersembunyi untuk mempengaruhi pemilu Taiwan di Januari mendatang. (Reuters/Pichi Chuang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sabtu besok, Singapura bakal menjadi saksi bertemunya pemimpin Taiwan dan China untuk pertama kali sejak berakhirnya perang sipil China pada 1949. Pertemuan bersejarah ini berlangsung beberapa minggu menjelang pemilu Taiwan.

Pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Ma Ying-jeou dari Taiwan ini juga bertepatan dengan meningkatnya sentimen anti-China di Taiwan menjelang pemilihan presiden dan parlemen pada Januari 2016. Banyak yang memprediksi bahwa bahwa Partai Ma, Kuomintang (KMT) yang pro-China diperkirakan akan kalah dari oposisi Partai Progresif Demokratik (DPP), yang mendukung kemerdekaam Taiwan dari China.

Ma, yang mundur tahun depan karena batasan masa jabatan, telah membuat peningkatan hubungan ekonomi dengan China sejak ia menjabat pada 2008. Dia telah menandatangani bisnis landmark dan pariwisata, meskipun belum ada kemajuan dalam menyelesaikan perbedaan politik Taiwan-China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andrew Hsia, Kepala Dewan Hubungan China Daratan yang mengurusi kebijakan China, berpendapat pertemuan itu akan menggarisbawahi niat kedua belah pihak untuk berdamai.

Namun, kandidat presiden DPP, Tsai Ing-wen, justru mempertanyakan mengapa pengumuman ini hadir begitu tiba-tiba.

"Saya yakin rakyat di seluruh negeri, seperti saya, merasa sangat terkejut," ujarnya dalam pidato di hadapan reporter, "Mengumumkan kepada rakyat dengan buru-buru dan semrawut seperti ini sama saja merusak demokrasi Taiwan."

Seperti dilaporkan Reuters pada Rabu (4/11), ahli politik berpendapat China bisa menentukan hasil pemilu Taiwan dengan menunjukkan bahwa hubungan Taiwan-China bisa membaik bila KMT lanjut berkuasa.

Nada yang serupa dengan Tsai turut didengungkan oleh juru bicara DPP, Cheng Yun-peng. Menurutnya, waktu digelarnya pertemuan itu mencurigakan.

"Bagaimana bisa rakyat tidak berpikir ini adalah operasi politik untuk memengaruhi pemilu?" tanyanya.

Namun menurut Hsia, desakan diadakannya pertemuan yang diinisiasi oleh kepala Kantor Hubungan Taiwan di China itu tidak tergesa-gesa maupun ditutup-tutupi, dan bahwa seluruh kesepakatan akan diungkap secara transparan.

"Kami taat pada prinsip keterbukaan dan transparansi. Tentu saja kami tidak bersikap buru-buru dan semrawut," ujarnya.
Partai Progresif Demoktarik (DPP) diperkirakan akan mengalahkan Kuomintang yang dianggap pro-China di pemilu Januari mendatang. (KMT (Reuters/Pichi Chuang)

Kaum muda menjauh dari China

Meski begitu, sejumlah analis mengatakan hal tersebut dapat menjadi bumerang meningat protes anti-China yang kian memanas di Taiwan, terutama di antara kaum muda yang waspada terhadap pengaruh Beijing. Bahkan ketakutan mereka akan ketergantungan pada China itu terefleksi dengan kalahnya KMT pada pilkada tahun lalu.

"Pertemuan antara pemimpin China dan Taiwan akan berjalan mulus, namun pemilu Taiwan mendatang bisa jadi risiko bagi kedua pihak," kata John Ciorciari, asisten profesor di Sekolah Kebijakan Publik Gerald R. Ford di Universitas Michigan.

Ia menambahkan, "Ma Ying-jeou dan Xi Jinping pasti khawatir bahwa pertemuan mereka akan membantu Tsai Ing-wen melebarkan pengaruhnya, seiring pemilih Taiwan semakin menjauhkan diri dari China."

Rabu kemarin, sekelompok kecil demonstran beraksi di luar gedung parlemen Taiwan.

China masih menganggap Taiwan provinsi yang memisahkan diri dan dapat ditarik kembali. China juga mengancam akan menggunakan kekuatan jika Taiwan bergerak ke arah kemerdekaan resmi.

Meski berulang kali menyebut tidak akan campur tangan dalam pemilu Taiwan, bukan tidak mungkin China akan menyiratkan pesan bahwa hubungan baik dengan Taiwan hanya bisa berlanjut bila pemimpin mereka mengakui cuma ada "satu China".

Komunis China dan KMT memang sepakat akan adanya "satu China", namun tidak sepakat tentang bagaimana interpretasinya. Taiwan telah menjadi negara sendiri sejak KMT pimpinan Chiang Kai Shek melarikan diri ke pulau tempat mereka kini tinggal usai kalah melawan Komunis Mao Zedong pada akhir perang sipil China.
Agenda "satu China" dicurigai akan didorong oleh China dalam pertemuan di Singapura Sabtu besok. (Reuters/Pichi Chuang)
Tak memanggil presiden satu sama lain

Kantor Ma menyebut dalam pernyataan bahwa tujuan pertemuan ini adalah untuk "mempertahankan status quo". Tidak akan ada kesepakatan maupun pernyataan bersama.

Kantor berita Xinhua melaporkan Zhang Zhijun, kepala Kantor Hubungan Taiwan di China mengatakan para pemimpin akan "bertukar padangan tentang pembangunan perdamaian pada relasi lintas selat Taiwan."

Ia menyebut pertemuan itu merupakan batu loncatan yang akan membantu mengatasi konflik, serta menggaet "dukungan luas dari seluruh lapisan masyarakat lintas selat dan internasional.”

Usai pertemuan, keduanya diperkirakan bakal makan malam bersama dan akan memanggil satu sama lain dengan sebutan “tuan” ketimbang Presiden, kata Zhang, mengingat keduanya tidak mengakui satu sama lain sebagai kepala negara.

Intimidasi jadi bumerang

Pejabat China dan Taiwan juga sempat bertemu di Guangzhou, China, bulan lalu, yang difasilitasi Kementerian Luar Negeri Singapura.

Tetapi Zheng Zhenqing dari Institut Studi Taiwan di Universitas Tsinghua, Beijing, menolak pandangan yang menghubungkan pertemuan itu dengan pemilu nanti. Walau demikian, ia mengakui bahwa China berniat mendorong Taiwan mengakui kebijakan "satu China".

"Itu dibuat dengan pertimbangan jangka panjang, untuk menunjukkan bahwa selama pemimpin Taiwan menerima adanya satu China, maka pemimpin kedua negara dapat bertemu," katanya berpendapat. "Ini harus jadi pangkal hubungannya."

Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest mengatakan masih terlalu dini untuk menyebut pertemuan itu sebagai titik balik.

Upaya China untuk mempengaruhi pemilu Taiwan sebelumnya juga telah jadi bumerang.

Tahun 1996, Presiden China Jiang Zemin memerintahkan tes roket dan perang di laut sekitar Taiwan demi mengintimidasi pemilih agar tidak mendukung Lee Teng-hui, yang diyakini China berusaha mendekatkan Taiwan menuju kemerdekaan resmi.

Tantangan itu membawa keduanya ke ambang konflik, hingga mendorong pasukan Amerika Serikat ke selat Taiwan untuk menakut-nakuti Beijing.

Lee kemudian menang telak dalam pemilu. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER