Pemilu Myanmar, dari Suu Kyi Hingga Diskriminasi Muslim

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Nov 2015 17:55 WIB
Myanmar menjelang pemilu, namun banyak hal yang masih disoroti, terkait diskriminasi terhadap Muslim hingga penghasutan dan pengrusakan di beberapa wilayah.
(Reuters/Olivia Harris)
Jakarta, CNN Indonesia -- Myanmar akan menggelar pemilu demokratis pada 8 November 2015, yang diharapkan dapat menjadi pemilu pertama yang berlangsung bebas dan adil dalam 25 tahun terakhir.

Pemilu ini juga diharapkan dapat membantu penerapan reformasi setelah Myanmar mulai memeluk demokrasi pada 2011, pasca lepas dari pemerintahan junta militer yang telah berkuasa lebih dari setengah abad.

Menurut catatan Thomson Reuters Foundation, terdapat lebih dari 90 partai dengan lebih dari 6.000 kandidat akan turut bertarung memperebutkan total 1.171 kursi parlemen dan semua majelis yang mewakili 14 negara bagian dan daerah di Myanmar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Parlemen Myanmar, atau Pyidaungsu Hluttaw merupakan lembaga bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (Pyithu Hluttaw) dengan 440 kursi, dan Parlemen Nasional (Amyotha Hluttaw) dengan 224 kursi. Dari total 664 kursi di parlemen, terdapat 166 kursi yang disediakan untuk perwakilan militer, sesuai dengan rancangan undang-undang di bawah pemerintahan militer.

Para anggota parlemen yang terpilih beserta perwakilan militer tersebut kemudian akan menentukan presiden Myanmar selanjutnya yang akan membentuk pemerintahan.

Dari puluhan partai yang berpartisipasi, terdapat dua partai yang mencuri sebagian besar perhatian publik, yaitu Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang berkuasa yang dipimpin oleh Presiden Thein Sein, dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai oposisi terbesar pimpinan peraih Nobel, Aung San Suu Kyi.

USDP didirikan di bawah pemerintahan militer Myanmar menjelang pemilu 2010 silam. Diresmikan sebagai partai politik pada 2 Juni 2010 oleh Komisi Pemilu Bersatu Myanmar, sebagian besar politisi USDP merupakan mantan jenderal militer dan taipun yang berusaha mempertahankan hubungan yang dekat dengan pemerintahan.

Pada pemilu tahun 2010, USDP memenangkan 75 persen suara dari seluruh kursi yang diperebutkan. Hasil ini secara luas memantik kecurigaan akan kecurangan hasil pemilu.

Pada pemilu sela tahun 2012, USDP tidak memenangkan satu pun kursi parlemen. Sementara, NLD menang telak 43 kursi dari 46 kursi parlemen yang diperebutkan. Pakar menilai pemilu ini adalah momen perjuangan USDP melawan oposisi.  

Pada pertengahan September lalu, Thein Sein mempertajam pengaruhnya di USDP dengan menggulingkan ketua parlemen Myanmar, Shwe Mann dari tampu kepemimpinan USDP. Shwe Mann kemudian digantikan oleh Htay Oo, pejabat yang dianggap dekat dengan Thein Sein.

Meskipun pada pemilu tahun ini Thein Sein tidak mencalonkan diri, Thein Sein bisa saja kembali ditunjuk sebagai presiden selama lima tahun ke depan oleh parlemen Myanmar.

Suu Kyi Jadi Sorotan

Selain USDP, partai NLD yang merupakan partai oposisi terbesar di Myanmar mendapat sorotan besar dalam pemilu kali ini, baik dari dalam negeri maupun dari publik internasional. Reuters melaporkan sepekan menjelang pemilu, hampir seluruh koran dan media daring Myanmar dipenuhi potret Aung San Suu Kyi.

Hal ini patut menjadi sorotan, karena lima tahun lalu ketika Myanmar belum memeluk demokrasi, media massa yang memberitakan atau melansir foto dari pemimpin pro-demokrasi ini bisa dipenalti oleh penguasa junta militer. Suu Kyi sendiri baru dibebaskan oleh junta militer pada 2010, setelah 15 tahun dijadikan tahanan rumah.

Didirikan pada 27 September 1988 oleh Suu Kyi, yang merupakan putri dari pendiri Myanmar Aung San, NLD merupakan partai oposisi yang memenangi pemilu tahun 1990, tetapi kemenangan ini dianulir oleh militer. Sebaliknya, NLD memboikot pemilu 2010 silam ketika USDP mengantongi mayoritas suara.  

Setelah Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah, NLD kemudian berpartisipasi dalam pemilu sela tahun 2012, dan menang telak atas USDP.

Sebagai pemimpin oposisi, Suu Kyi menjanjikan amandemen undang-undang yang disusun oleh junta militer, mempercepat demokrasi, dan menciptakan perdamaian dengan kelompok minoritas yang memberontak.

Partai NLD yang digawangi Suu Kyi diprediksi akan menang besar, mengalahkan partai USDP yang kini berkuasa. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Meski demikian, Suu Kyi yang populer mendapat kritikan keras dari publik internasional karena dinilai minim menyuarakan nasib kaum Muslim Rohingya yang minoritas, tidak diakui sebagai warga negara, dan kerap menerima diskriminasi di Myanmar.

Ketika berkampanye di negara bagian Rakhine, wilayah yang menjadi lokasi konflik antara warga Buddha dengan etnis Muslim Rohingya pada pertengahan Oktober lalu, Suu Kyi terlihat menghindari komentar soal hak-hak warga negara bagi Rohingya. Kampanye Suu Kyi bahkan digelar jauh dari kamp pengungsi Rohingya.

Selain itu, etnis Rohingya tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilu karena tidak dianggap sebagai warga negara. Meski tak dapat memberikan hak suara, etnis Muslim Rohingya masih menjadi fokus kampanye, seiring dengan seruan anti-Muslim yang disebarkan oleh politisi nasionalis Buddha dan para biksu radikal.

Organisasi Buddha Pelindung Nasional dan Agama (Ma Ba Tha) menilai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi terlalu bersimpati kepada minoritas Muslim, karena menentang undang-undang "ras dan agama" yang diusung oleh sejumlah tokoh Buddha.

Diskriminasi terhadap umat Muslim

Diskriminasi terhadap umat Muslim secara luas membayangi pemilu Myanmar tahun ini. Menurut catatan Reuters, tidak satu pun warga Muslim yang menjadi kandidat dari NLD untuk wilayah manapun.

"Kami memiliki sejumlah kandidat Muslim yang berkualitas, tapi kami tidak dapat mengajukan mereka karena berbagai alasan politik. Jika kami mengajukan kandidat Muslim, Ma Ba Tha akan memberikan stereotip kepada kami, dan kami harus menghindari itu," kata Win Thein, pejabat parlemen senior Myanmar, dikutip dari Reuters (19/10).

Selain itu, pelapor khusus PBB mengenai penerapan HAM di Myanmar, Yanghee Lee mengaku khawatir soal apakah pemilu Myanmar tahun ini bisa berlangsung bebas dan adil, mengingat lebih dari 60 kandidat, terutama dari umat Muslim, didiskualifikasi untuk mencalonkan diri pada pemilu tahun ini.

Etnis Muslim Kaman juga tidak memiliki hak pilih, diduga karena mereka beragama Islam. Mereka bukan Rohingya. Nenek moyang etnis Kaman sudah berada di Myanmar sejak berabad lalu dan dikenal luas sebagai penduduk asli.

Meski demikian, seperti etnis Rohingya, warga etnis Kaman menerima sejumlah diskrimasi karena agama Islam yang mereka anut pada kerusuhan berdarah tahun 2012.

Kaum etnis Rohingya tak punya hak pilih karena kewarganegaraan mereka yang tak diakui oleh pemerintah Myanmar. (Antara/Rahmad)
Dibayangi kekhawatiran

Menurut Lee, para pekerja migran, pengungsi, dan warga Myanmar yang tinggal di luar negeri berpotensi tidak bisa memilih. Begitu pula dengan mereka yang tinggal di sejumlah daerah konflik dan terkena dampak banjir.

Lee menyatakan situasi paling memprihatinkan adalah pencabutan hak pilih kepada 760 ribu orang yang sebelumnya memiliki kartu pendaftaran sementara.

Mereka termasuk warga keturunan China dan India, dan sebagian besar adalah etnis Rohingya di negara bagian Rakhine yang sebelumnya memiliki hak untuk memilih dalam pemilu 2010 dan 2012.

Namun, Duta PBB untuk Myanmar, U Kyaw Tin, menolak laporan Lee dan menilai laporan itu mengandung "tuduhan yang tidak akurat, terdistorsi dan menyesatkan."

"Pemilu bersejarah ini tidak boleh dirusak oleh praduga dan penghasutan beberapa tantangan kecil. Myanmar melakukan yang terbaik dengan komitmen penuh untuk membuat (pemilu ini) bebas, adil dan transparan," ujar U Kyaw Tin.

Semakin mendekati penyelenggaran pemilu, pemerintah Myanmar juga dilaporkan merekrut lebih dari 40 ribu warga sipil untuk menjadi petugas kepolisian khusus yang bertugas menjaga keamanan di pos-pos pemungutan suara.

Pada Jumat (30/10) lalu, Myanmar Times melaporkan puluhan ribu pegawai negeri sipil dan tentara Myanmar telah lebih dulu menggunakan hak suara mereka dalam pemilu, karena harus bertugas pada hari penyelenggaraan pemilu, Minggu (8/11).

Sementara, pertengahan Oktober lalu, Channel NewsAsia melaporkan lebih dari 400 warga Myanmar di Singapura menggunakan hak suara mereka di sejumlah bilik suara yang ditempatkan di gedung Kedutaan Besar Myanmar di Singapura. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER