Peringatan Pembantaian Nanjing, Kisah Pilu Budak Seks Jepang

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Senin, 14 Des 2015 12:15 WIB
Bertepatan dengan peringatan Pembantaian Nanjing pada Minggu (13/12) di China, seorang nenek mantan budak seks Jepang memaparkan kisah pilunya.
Puluhan perempuan China dan Malaysia dibawa dari Penang untuk dijadikan 'wanita penghibur' tentara Jepang. (Wikimedia/United Kingdom Government)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Empat tahun lagi dan saya akan berusia seratus tahun," kata Wei Shaolan, sembari melambaikan empat jari keriputnya.

Wei merupakan seorang mantan budak seks selama Perang Dunia II yang tak berputus asa mencoba mencari ganti rugi dan kompensasi dari Jepang atas penderitaannya selama periode paling gelap dalam sejarah China, pembantaian Nanjing.

Wei kini tinggal bersama dengan putranya yang berusia 70 tahun di rumahnya yang suram, terbuat dari lumpur dan sudah berusia 50 tahun, di desa di Lipu County, dua jam perjalanan dari Guilin, wilayah tenggara China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun 2010, ibu-anak ini berangkat ke Jepang untuk mencari keadilan, tapi kasus mereka dihentikan oleh pengadilan Jepang. Tentara Jepang yang menyiksa Wei menolak mengakui kesalahannya.

Kini, bertepatan dengan peringatan Pembantaian Nanjing dengan upacara yang dihadiri 17 penyintas dan delapan veteran perang pada Minggu (13/12) di Memorial Hall, Nanjing, di gubuknya Wei menceritakan kisahnya yang pilu ketika dipaksa menjadi budak seks untuk para tentara Jepang yang mengokupasi Nanjing periode 1937-1938.

"Saya ingin terus hidup sehingga saya bisa melihat mereka mendapat hukuman setimpal atas apa yang mereka lakukan," kata Wei kepada Channel NewsAsia, ketika ditanya apa yang memberinya semangat untuk terus melanjutkan hidup di usianya yang menjelang satu abad.

"Saya masih ingat wajahnya. Saya akan bisa mengenalinya bahkan jika ia muncul saat ini. Saya akan mengambil pisau dan memotongnya, sedikit demi sedikit," kata Wei.

Wei merujuk kepada seorang tentara yang menjadikan Wei sebagai budak seks pribadinya setelah dia diperkosa beramai-ramai selama berminggu-minggu. Wei menyatakan putrinya yang kala itu berusia satu tahun ditangkap bersamanya.

Para tentara yang memerkosa Wei saat itu kerap memberikan permen untuk putrinya agar tidak menangis ketika ibunya diperkosa.

Warga China memperingati Pembantaian Nanjing dengan upacara yang dihadiri 17 penyintas dan delapan veteran perang pada Minggu (13/12) di Memorial Hall, Nanjing. (Reuters/Stringer)
Menjadi budak seks tentara Jepang, Wei diawasi secara ketat bahkan ketika dia ingin pergi ke toilet. Namun suatu hari, Wei berhasil melarikan diri dan kembali ke rumahnya, hanya untuk dikucilkan oleh suaminya. Tak sampai di situ, situasi menjadi lebih buruk ketika dia kemudian hamil.

Putranya, Luo Shanxue, yang sekarang berusia 70 tahun, kerap kali mendapat cemoohan di desa mereka sebagai "anak haram Jepang." Setelah sia-sia menuntut kompensasi dan ganti rugi kepada Jepang, Luo kini merasa hampir hilang harapan.

Sejarawan mengklaim bahwa sekitar 200 ribu wanita China dijadikan budak seks selama pendudukan Jepang. Profesor Su Zhiliang, pendiri pusat penelitian pertama di negara itu soal wanita penghibur menyatakan sebagian besar mantan budak seks tak mau terbuka soal penyiksaan mereka.

Usai perang, kebanyakan mantan budak seks memilih untuk tetap tutup mulut karena takut dicap sebagai konspirator Jepang.

"Kita tahu di banyak tempat, mereka menjadi korban tetapi mereka menolak untuk mengakuinya," kata Su. "Para suami mereka juga menolak untuk terbuka dengan alasan tak mau membuka luka sejarah. Ini adalah proses yang menyakitkan, sebagian besar budak seks telah memiliki cucu, sehingga ini juga soal reputasi."

Hingga saat ini, diperkirakan puluhan mantan budak seks Jepang masih hidup. Sebagian besar telah berusia lebih dari 80 tahun dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Dalam dekade terakhir, sejumlah aktivis berupaya mencari kompensasi dan keadilan bagi para korban, tetapi upaya mereka tak juga menuai sukses. Tak ada pula pihak yang mendukung mereka.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, China berupaya untuk memperingati pembantaian Nanjing dan para budak seks yang menjadi korban. Pemerintah China juga memugar sejumlah rumah bordil tentara Jepang untuk dijadikan museum.

Tahun ini, untuk pertama kalinya, China menyatakan 3 September sebagai Hari Kemenangan melawan pendudukan Jepang, menandai 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Upaya ini dilihat sebagai cara untuk menghidupkan nasionalisme di China.

"China baru benar-benar mencapai standar internasional ketika mulai memperingati perang," kata Su, yang telah melobi pemerintah untuk melestarikan bangunan yang dulunya digunakan sebagai rumah bordil selama perang.

"Banyak situs bersejarah hancur di dalam 70 tahun terakhir. Tapi upaya pelestarian situs bersejarah kian meningkat," ujar Su.

"Satu, karena kita kekuatan global meningkat. Faktor lainnya adalah karena perang merupakan periode penting dalam sejarah kita. Ini adalah titik awal untuk kebangkitan bangsa China," tutur Su. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER