LAPORAN DARI FILIPINA

Kala Politik Menari Jelang Perdamaian Filipina dan MILF

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Rabu, 13 Jan 2016 13:41 WIB
Menjelang pemilu 2016, hasil perjuangan perdamaian MILF dan pemerintah Filipina tak kunjung disetujui Kongres. Menurut Ketua MILF, perjanjian ini dipolitisasi.
Papan besar memajang foto Presiden Filipina, Benigno Aquino, bersama ketua kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF), Al Hajj Ebrahim Murad, dengan ilustrasi bom waktu di belakangnya terpampang di beberapa ruas jalan di Mindanao, Filipina. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Desember 2015. Ketika pusat Kota Manila sudah gemerlap dengan lampu Natal, di Mindanao terpampang papan besar memajang foto Presiden Filipina, Benigno Aquino, bersama ketua kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF), Al Hajj Murad Ebrahim, dengan ilustrasi bom waktu di belakangnya.

"Hitung mundur menuju pembentukan Bangsamoro. Waktu terus berjalan. Setiap hari yang terbuang adalah tanda hilangnya kesempatan perdamaian. Dari sekarang hingga Mei 2016," demikian tulisan di papan tersebut.

Lebih dari satu dekade sudah MILF berjuang melawan pemerintah untuk mendapatkan kemerdekaan. Perjuangan dengan pertumpahan darah sudah berubah menjadi pembicaraan politik terarah dengan pemerintah. Tuntutan mendapatkan negara merdeka pun sudah berubah menjadi sekadar daerah otonom di bawah naungan pemerintah.
Perjanjian damai akhirnya terwujud dalam Comprehensive Agreement on the Bangsamoro (CAB) yang diteken oleh pemerintah, MILF, dan pihak penengah, Malaysia, pada 27 Maret 2014 yang menjadi akar terbentuknya Bangsamoro, entitas impian para leluhur separatis Islam di Filipina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lahirnya entitas baru tersebut akan diatur dalam akta Hukum Dasar Bangsamoro (BBL) yang harus disetujui terlebih dahulu oleh Kongres Filipina. Di dalam BBL, terangkum berbagai landasan berdirinya Bangsamoro, mulai dari bentuk pemerintahan, wilayah, rakyat, hingga sistem keamanan dan peradilannya.

Namun hingga kini, masih banyak anggota Kongres yang enggan meloloskan BBL. Menurut mereka, masih banyak poin dalam BBL yang tak sesuai dengan konstitusi. Bahkan, ada pula yang berpandangan bahwa MILF hanya berusaha berdamai dengan pemerintah dan mengajukan poin-poin yang pada akhirnya memberikan kekuatan bagi mereka untuk memerdekakan diri.

Waktu kian sempit mengingat Aquino akan mengakhiri masa jabatannya pada Mei mendatang. Menurut Ketua Panel Perdamaian dari Pemerintah, Miriam Coronell Ferrer, BBL harus sudah disetujui oleh Kongres setidaknya pada Januari agar kemudian dapat diserahkan kepada Aquino untuk disahkan.

"Jika bisa loloskan pada Januari, presiden bisa menyetujui pada Maret jadi diusahakan agar cepat karena 60 hari sebelum pemilu, presiden tidak bisa lagi menyetujui sesuatu. Jadi, sebelum 9 Maret, presiden masih bisa menyetujui sesuatu," ujar Ferrer saat ditemui CNN Indonesia di Manila.

Ketua Panel Perdamaian Pemerintah Filipina untuk MILF, Miriam Coronel-Ferrer, menjelaskan mengenai perkembangan proses damai kepada CNN Indonesia saat ditemui di Manila, Filipina, Desember 2015. (Dok. Marconi Navales)
Namun, seorang anggota Kongres dari Partai Magdalo, Gary J. Alejano, mengaku ragu BBL dapat diloloskan dalam periode pemerintahan ini. Pasalnya, masih banyak kecurigaan bahwa  MILF sebenarnya hanya menggunakan perjanjian damai sebagai alat untuk akhirnya melawan pemerintah dan merebut kemerdekaan. Untuk mencegah hal itu, masih banyak revisi dan amandemen yang harus dibuat dalam BBL. Belum lagi, Kongres masih harus menyusun kerangka kerja tahun depan.

"Masih banyak masalah dalam BBL. Jangan terburu-buru. Biarkan pemerintahan selanjutnya yang melanjutkan proses damai dalam BBL ini," katanya.

Sementara itu, MILF sendiri sudah mulai jengah. Mereka mendesak agar Kongres segera menyetujui BBL sebelum para anggota mereka di bawah semakin gerah dan mungkin saja kembali terjadi pertumpahan darah.

Murad pun menyayangkan karena isu ini hangat di tengah situasi politik yang memanas menjelang pemilu. Ia pun menuding bahwa pemerintah dan parlemen menggunakan BBL sebagai alat untuk menjaring suara masyarakat.

Merujuk pada data jajak pendapat surat kabar Manila Standard pada Oktober lalu, 64 persen responden mengaku akan memilih calon pemimpin yang tidak mendukung BBL. Sementara itu, 35 persen peserta survei mengaku akan memilih kandidat yang mendukung BBL.
"Politisi menggunakan BBL sebagai cara untuk mendapatkan lebih banyak suara. Mereka berbicara menentang BBL karena mereka berpikir ketika mereka berbicara penolakan terhadap BBL, mereka akan mendapatkan banyak suara dari mereka yang anti-damai. Beberapa juga berbicara untuk mendukung BBL untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat yang mendukung BBL. Ini sangat dipolitisasi sekarang," ucap Murad dalam wawancara khusus dengan CNN Indonesia di Kamp MILF di Darapanan, Filipina.

Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, pun menganggap kecurigaan Gary hanyalah alibi belaka. Menurutnya, anggota Kongres yang melontarkan komentar semacam itu, pasti memiliki kepentingan besar di Mindanao.

"Itu tidak benar sama sekali. Biasanya yang berkomentar seperti itu adalah orang konservatif yang punya kepentingan ekonomi di Mindanao atau pendatang Kristen dari utara Filipina yang khawatir daerah mereka akan dikuasai MILF," kata Sidney.

Masalah politisasi ini, kata Murad, akan terus berlanjut ke pemerintahan selanjutnya jika jajaran Aquino akhirnya tak dapat meloloskan BBL.

Kendati demikian, Ferrer yakin bahwa jika BBL tak dapat diloloskan dalam masa pemerintahan Aquino, presiden selanjutnya akan tetap melanjutkan proses damai dengan MILF.

"Saya selalu memantau gerak-gerik para calon presiden. Dari delapan kandidat, hanya satu yang kontra terhadap BBL, yaitu Miriam Defensor Santiago," kata Ferrer.

Namun, Santiago menggandeng Senator Bongbong Marcos, putra semata wayang dari mantan Presiden Filipina, Ferdinand E. Marcos. Dalam masa pemerintahan sang diktator inilah, muncul gerakan separatisme dari kaum Islam di Filipina.

"Ia akan jadi penyeimbang. Bongbong tidak akan mau disalahkan seperti ayahnya jika terjadi perang lain di Mindanao," ujar Ferrer menyunggingkan senyum.

Jejak kelam perdamaian pemerintah dengan MILF

Pergantian presiden memang menjadi bayang kelam dalam rekam jejak perdamaian antara pemerintah dan MILF. Trauma pertama dialami pada medio 1990-an.

Setelah bertahun-tahun angkat senjata, pada 1997 MILF akhirnya menyepakati perjanjian gencatan perang dengan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Fidel V. Ramos.

Hanya tiga tahun menghirup angin segar, amarah MILF kembali berkobar pada 2000. Presiden kala itu, Joseph Estrada, membatalkan perjanjian gencatan senjata.

"Para pejuang akhirnya mendeklarasikan jihad terhadap pemerintahan pada 2000," demikian bunyi laporan bertajuk In The Spotlight: Moro Islamic Liberation Front yang dilansir Center of Defense Information.

Angin segar kembali berembus ketika kursi presiden ditempati oleh Gloria Arroyo. Pemerintah dan MILF kembali menyepakati gencatan senjata dan pembicaraan damai.
Kendati demikian, situasi kian panas setelah insiden pengeboman di Davao Airport pada 2003. Pasukan MILF juga menyerang tentara pemerintah di Maguindanao dan menewaskan setidaknya 23 orang pada 2005.

Serangan-serangan ini mulai memunculkan spekulasi bahwa MILF memiliki kaitan dengan Al-Qaidah, termasuk menampung aliran dana dari Osama Bin Laden. Namun, MILF menampik tudingan ini.

The Inquirer kemudian memberitakan bahwa rentetan serangan ini merupakan indikator bahwa negosiasi damai tidak efektif untuk menciptakan perdamaian di Mindanao jika pada akhirnya MILF tak diberikan kekuasaan mengatur operasinya.

Hingga akhirnya pemerintah dan MILF kembali berdamai dengan disepakatinya Memorandum of Agreement on Ancestral Domain (MOA-AD).

Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan ARMM diperluas. Orang Moro juga diberikan lebih banyak kontrol wilayah dan sumber daya di bawah konsep hak asasi manusia dengan kewenangan membentuk pasukan kepolisian.

Beberapa pembuat kebijakan menggalang petisi ke Mahkamah Agung untuk menghentikan MOA-AD karena banyaknya ketidakterbukaan dalam prosesnya. MILF juga dianggap gagal membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara mereka dan Jemaah Islamiyah, jaringan teror yang berafiliasi dengan Al-Qaidah.

Hingga akhirnya, Malaysia sebagai penengah melontarkan ancaman serius yang membuat MILF putar haluan.

"Malaysia meminta kami untuk meninggalkan permintaan tersebut (merdeka dari Filipina), mengancam akan meninggalkan pembicaraan damai ini. Jelas, kami tidak menginginkan negara independen, tapi sesuatu di mana Moro dapat memerintah diri sendiri secara efektif dengan interfensi sedikit dari pemerintah pusat," tutur Iqbal seperti dikutip Reuters pada 2010 silam.

Iqbal pun akhirnya menyodorkan formula baru perjanjian, yaitu pendirian semacam negara bagian seperti di Amerika Serikat, tak sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat.

"Tak ada apapaun di dalam draft kami yang menunjukkan bahwa kami meminta kemerdekaan," katanya.

Ia lantas menjabarkan bahwa negara bagian ini tidak akan memiliki kewenangan atas pertahanan nasional, kebijakan luar negeri, mata uang, dan kantor pos yang sudah dikontrol pemerintah pusat. Namun, negara bagian ini akan memiliki pasukan bersenjata untuk keamanan internal.

Berbekal draf tersebut, perundingan damai antara pemerintah dan MILF akhirnya membuahkan hasil berupa FAB pada 2012 yang berujung pada CAB.

Ketua Moro Islamic Liberation Front (MILF), Al-Hajj Murad Ebrahim, menjelaskan mengenai perkembangan terakhir perjanjian damai dengan pemerintah Filipina ketika ditemui CNN Indonesia di markas Kamp Darapanan milik MILF di Maguindanao, Filipina, pada Desember 2015. (Dok. Marconi Navales)
Kedua perjanjian tersebut dianggap cukup kuat untuk mengikat pemerintahan berikutnya untuk melanjutkan proses damai dengan MILF.

Tak sampai di situ, meskipun BBL akhirnya nanti diloloskan dengan berbagai amandemen, MILF akan terus berjuang hingga revisi hukum tersebut sesuai dengan keinginan mereka.

"Jika ada amandemen, akan ada perjuangan lagi bagi kami. Kami akan berjuang untuk mendapatkan amandemen yang tepat," kata Murad.

Pria kelahiran 67 tahun silam ini juga tak menutup kemungkinan perjuangan tersebut akan melibatkan pasukan bersenjata.

"Kami menggunakan perjuangan bersenjata untuk melindungi diri kami. Kami akan terus melindungi diri. Namun, kami masih melihat bahwa solusi di sini adalah politis, bukan perjuangan bersenjata, mungkin saja menjadi komponen, tapi bukan solusi dari masalah ini," tutur Murad sambil sesekali mengacungkan telunjuknya.

Meskipun hampir jengah, MILF mengaku masih menyimpan harapan dan tidak akan menyerah.

"Jika bicara optimistis, kami sudah tidak punya itu. Namun, kami masih punya harapan," kata Iqbal. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER