Cerita Kepanikan WNI di Tengah Gempa Jepang

Denny Armandhanu | CNN Indonesia
Selasa, 19 Apr 2016 23:20 WIB
Dua gempa berkekuatan besar di Jepang pekan lalu sempat memicu peringatan tsunami, membuat WNI diselimuti kepanikan dan berusaha menyelamatkan diri.
Serangkaian gempa yang mengguncang Jepang sejauh ini menewaskan 42 orang dan merusak sejumlah infrastruktur publik. (Reuters/Kyodo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dua gempa berkekuatan besar yang melanda Jepang pekan lalu merupakan pengalaman tak terlupakan bagi Adirani Heraputeri, 20, warga negara Indonesia dan mahasiswi S1 di Ritsumeikan Asia Pacific University.

Bagaimana tidak, gempa berkekuatan 6,5 SR pada Kamis (14/4) malam yang disusul oleh gempa 7,3 SR di Kumamoto pada Sabtu (16/4) dini hari itu sempat memicu peringatan tsunami, membuat sejumlah WNI di sekitar wilayah itu diselimuti kepanikan dan berusaha menyelamatkan diri.

Mahasiswi yang tinggal di Kota Beppu, Prefektur Oita, ini memaparkan ketika gempa terjadi pertama kali pada Kamis malam, warga di Beppu tidak terlalu merasakan goncangan yang signifikan. Memang, sejumlah gempa susulan berkekuatan kecil masih terus terasa sepanjang malam itu, tetapi Adirani tak terlalu cemas lantaran pusat gempa yang cukup jauh dari kota tempat tinggalnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ketika gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang Kumamoto pada Sabtu, Adirani memaparkan goncagan gempa terasa cukup dahsyat terasa ketika dia tengah tertidur di tempat tinggalnya di lantai 7 sebuah apartemen.

"Karena panik saya dan teman-teman serumah keluar tidak sempat membawa apa-apa, bahkan tidak sempat pakai sandal," katanya ketika dihubungi CNN Indonesia.com pada Selasa (19/4).

Sirene darurat kota lantas berbunyi, dan Adirani bersama banyak mahasiswa Indonesia dan Internasional lainnya mengikuti jalur evakuasi ke tempat yang lebih tinggi karena adanya peringatan tsunami.

"Tanpa sandal, dalam baju piyama tipis di malam yang dingin, banyak di antara teman-teman yang menangis karena shock," kata Adirani. "Malam itu jujur tidak akan terlupakan seumur hidup."

Adirani bersama teman-teman dan sekitar 50 WNI lainnya mengungsi di gedung olahraga sebuah sekolah dasar yang dijadikan tempat penampungan sementara pada malam pertama dan kedua terjadi gempa. Jarak antara tempat penampungan dengan apartemennya tak sampai 1 km.

Menurut Adirani, di kota Beppu sendiri, terdapat total 341 pelajar Indonesia yang terbagi ke beberapa tempat evakuasi.

Setelah pagi menjelang, Adirani dan teman-temannya memberanikan diri untuk pulang ke rumah sekitar pada pukul 6 pagi untuk mengambil barang2 seperlunya. Namun, tak lama kemudian, gempa kembali mengguncang, kali ini berkekuatan 5 SR dan berpusat di Kota Yufu, yang dapat ditempuh sekitar 30 menit dr Beppu. Warga pun kembali berhamburan keluar rumah.

"Buat saya pribadi, kejadian pada Sabtu dini hari dan beberapa hari terakhir adalah kejadian yang tidak akan saya lupakan karena ini adalah gempa terbesar yang pernah saya rasakan," ujarnya.

Untunglah, selama dua hari terakhir, intensitas gempa susulan di Beppu mulai berkurang, meski sejumlah gempa dengan skala 3-5 SR sesekali masih terjadi. Oleh karena itu, lanjut Adirani, sebagian besar WNI masih memilih menginap di tempat evakuasi yang disediakan pada malam hari.

"Dalam beberapa hari ini, hati terus cemas dan was was karena gempa yang masih terus terjadi dan kabar yang tidak menentu. Tapi sebisa mungkin saya pribadi mencoba positive thinking, dan berusaha menyebar energi positif ke teman-teman yang masih trauma," ujarnya.

Gempa berkekuatan 6,5 SR pada Kamis (14/4) malam yang disusul oleh gempa 7,3 SR di Kumamoto pada Sabtu (16/4) dini hari itu sempat memicu peringatan tsunami. (Reuters/Kyodo)
Seiring dengan intensitas gempa yang mulai berkurang dalam beberapa hari terakhir, Adirani memaparkan saat ini Kota Beppu masih berada dalam keadaan relatif aman dan terkendali. Meski demikian, sejumlah teman-teman mahasiswa WNI masih merasa khawatir, cemas, dan trauma akibat gempa.

Adirani juga mengaku masih siap siaga karena waspada gempa masih belum dicabut sampai akhir minggu ini. "Tanpa menyepelekan keadaan yang masih dalam tahap waspada, saya selalu siap siaga untuk kemungkinan terburuk," ujarnya.

Hari ini, Adirani memutuskan kembali ke rumah dan membersihkan barang-barangnya. Apartemen yang Adirani tinggali bersama sejumlah temannya tidak ada kerusakan yang signifikan akibat gempa, hanya sejumlah retakan di dinding bangunan.

Adirani juga sempat menyinggung penanganan gempa yang cepat tanggap dilakukan pemerintah Jepang ketika gempa terjadi. "Sebuah pengalaman juga saya merasakan langsung penanganan bencana di Jepang yang top, dan cepat tanggap, sehingga membantu meringankan kecemasan kami semua," ujarnya.

"Saya pun terus memikirkan kondisi teman-teman di Kumamoto yang jauh lebih parah, dengan aftershocks tak kunjung henti dan kota yang sudah mulai mati. Semoga saja musibah ini cepat berakhir," tuturnya.

Serangkaian gempa yang mengguncang Jepang sejauh ini menewaskan 42 orang dan merusak sejumlah infrastruktur publik. Peringatan tsunami sempat diluncurkan usai gempa pada Sabtu, namun kemudian dicabut. Otoritas nuklir Jepang juga menyatakan kondisi pembangkit nuklir di dekat pusat gempa dalam kondisi aman dan tak perlu ditutup.  (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER