Jakarta, CNN Indonesia -- Petang menjelang, 15 April 2016. Sepuluh orang awak kapal TB Henry mengarungi lautan dari Filipina menuju Tarakan, Kalimantan, Indonesia, setelah mengirimkan muatan berupa batu bara.
Namun, saat kapal masih membelah laut di dekat Pulau Ligitan, Malaysia, mereka dikejutkan dengan suara timah panas mengenai badan kapal mereka. Malam itulah awal dari penderitaan empat orang dari mereka yang akhirnya disandera selama hampir satu bulan oleh kelompok militan Filipina.
Awalnya, para awak tak mengira bahwa boat kecil yang membuntuti kapal mereka ditumpangi oleh kelompok militan bernama Abu Sayyaf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kira itu patroli Malaysia karena warna kapalnya loreng dan mereka menggunakan seragam loreng lengkap dengan senjata. Kami enggak mengira itu Abu Sayyaf," ujar salah satu ABK, Dede Irfan Hilmi, saat ditemui media di Jakarta, Jumat (13/5).
Kesepuluh ABK sontak keluar dari kapal menuju dek. Saat itulah, lima orang militan bersenjata dan mengenakan masker masuk ke dalam kapal lantas langsung menarik orang yang bisa ditangkap.
Tak tinggal diam, mereka pun sempat melakukan perlawanan. "Ya, kami melawan dengan barang yang ada, seperti alat pemadam kebakaran, semprotan, parang, pisau, apa saja yang ada di kapal untuk perlawanan," tutur sang kapten kapal, Mochammad Ariyanto Misnan.
Baku hantam sengit itu akhirnya menyebabkan salah satu ABK, Lambas Simanungkalit, terluka. Namun beruntung, Lambas dan lima awak kapal lainnya berhasil melarikan diri.
"Karena ada yang tertembak, jadi saya putuskan untuk menyerah. Daripada ada yang tertembak lagi, lebih baik kami berempat yang ikut," kata Ariyanto.
Keempat orang itu adalah M Ariyanto Misnan, Lorens Marinus Petrus Rumawi, Dede Irfan Hilmi, dan Samsir.
Di tengah gelapnya malam, mereka mengarungi lautan bersama lima perompak Abu Sayyaf yang membawa kapalnya kembali ke Filipina, ke tanah antah berantah.
"Kami ditaruh di hutan, di gunung, enggak ketemu penduduk warga sana, masalah makan seadanya aja. Namanya tawanan, bukan tamu jadi enggak mungkin dijamu baik-baik sama mereka. Kadang nasi sisa mereka, kadang kelapa kering," tutur Dede.
Todongan senjata pun sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Setiap harinya, mereka dijaga oleh 20 orang bersenjata lengkap.
Ancaman-ancaman pun terus berdatangan. "Diancam, ditakut-takuti, katanya kalau rakyat Indonesia enggak memperjuangkan kalian diancam digorok. Setiap hari mereka memperlihatkan video orang yang lehernya dipotong jadi supaya kami takut ditembak atau dipotong lehernya," kenang Dede.
Pergerakan mereka pun sangat terbatas. Di tengah malam, mereka diikat di satu pohon menggunakan tali.
"Dilepas kalau mau mandi dan buang air. Mereka pakai bahasa Melayu patah-patah," katanya.
Hingga akhirnya, berbagai pihak berhasil menyelamatkan mereka dan diserahkan pihak Filipina kepada pemerintah Indonesia pada Kamis (12/5).
Setelah proses serah terima, anak buah kapal TB Henry dan tongkang Crista itu akan dibawa KRI yang sudah bersiaga di sekitar laut antara Filipina dan Indonesia. Mereka lantas dibawa ke Tarakan sebelum akhirnya tiba di Jakarta pada Jumat pagi.
"Perasaan bahagia. Terima kasih kepada Bapak Presiden [Joko Widodo], Ibu Menlu [Retno LP Marsudi], serta Panglima TNI [Gatot Nurmantyo], dan bapak prajurit yang tiada capek untuk urus kami yang disandera," tutur Ariyanto.
(den)