Menteri Non-Muslim Mundur jika Malaysia Sahkan Hukum Hudud

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mei 2016 03:40 WIB
Sejumlah menteri non-Muslim di kabinet PM Malaysia Najib Razak mengancam akan mengundurkan diri jika RUU hukum hudud disahkan.
Ilustrasi hukuman cambuk (Antara/Irwansyah Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah menteri non-Muslim di kabinet Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengancam akan mengundurkan diri jika RUU yang akan memperkuat kekuasaan dan yurisdiksi pengadilan Islam disahkan.

Ancaman ini terjadi menyusul keputusan partai yang berkuasa Organisasi Nasional Melayu Bersatu, UMNO, pekan lalu untuk mempercepat pembahasan RUU Pengadilan Syariah (Yurisdiksi Kriminal), yang diajukan oleh ketua partai oposisi, Partai Islam se-Malaysia, PAS.

PAS memerlukan amandemen UU untuk menerapkan hukum pidana Islam atau yang biasa disebut hukum hudud di negara bagian Kelantan. Jika amandemen ini diloloskan, kekuasaan pengadilan syariah dalam memutuskan masalah pidana di penjuru negeri diperkirakan akan menguat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Situasi ini menyebabkan kekhawatiran dalam sistem peradilan ganda di negara yang mayoritas penduduknya merupakan Melayu Muslim tetapi memiliki populasi multi-etnis yang tinggi.

Satu per satu, para menteri dari koalisi yang berkuasa, Barisan Nasional, BN, mengancam akan mengundurkan diri dari kabinet jika amandemen Undang-Undang Pengadilan Syariah disahkan.

Menteri Transportasi Malaysia yang merupakan Ketua Asosiasi China Malaysia, MCA, Liow Tiong Lai menyatakan kepada media yang dimiliki oleh partainya, The Star, bahwa dukungan UMNO terhadap RUU yang diajukan PAS tak ubahnya bagai tindakan desersi terhadap koalisi BN.

"Saya akan mengundurkan diri. Tidak ada gunanya bagi saya untuk menjabat. Saya harus sangat tegas dalam hal ini," kata Liow, dikutip dari Channel NewsAsia, Senin (30/5).

"Saat pertemuan kabinet pada Rabu, kami akan mengangkat isu ini dan setelah itu, mungkin meminta dia (Najib) untuk bertemu guna mendiskusikan ini secara mendalam sehingga Perdana Menteri bisa memahami sikap dan situasi kami dan begitu juga sebaliknya," ujar S Subramaniam, Ketua Kongres India Malaysia (MIC) sekaligus menjabat sebagai Menteri Kesehatan Malaysia.

Tak hanya pejabat non-Muslim, Ketua Partai Gerakan dan Partai Rakyat Sabah Bersatu, yang bergabung dalam BN, juga menyerukan ancaman serupa. Ancaman ini dikhawatirkan menimbulkan perpecahan politik di pemerintahan.

Berbagai protes ini berasal dari kekhawatiran bahwa amandemen itu akan mengarah pada penerapan hukum pidana Islam di Malaysia. Hukum "hudud" memungkinkan hukuman yang lebih berat, seperti rajam dan amputasi, bagi para kriminal.

Pada Jumat (27/5), Perdana Menteri Najib Razak berusaha meyakinkan koalisinya bahwa kekhawatiran itu berasal dari kesalahpahaman yang besar.

"Apa yang saya ingin jelaskan (adalah) bahwa amandemen itu bukanlah hukum 'hudud'," kata Najib, yang juga merupakan Ketua BN.

"Kedua, [amandemen] itu akan benar-benar meningkatkan hukuman, dari enam cambukan dari rotan menjadi lebih banyak cambukan, tergantung pada kejahatan yang dilakukan, dan [ketentuan] berada di bawah yurisdiksi pengadilan syariah dan hanya melibatkan umat Muslim," ujarnya.

Terlepas dari pemaparan Najib, amandemen yang tercantum di atas kertas dan tengah dibahas di parlemen mencakup ketentuan yang luas. Selain itu, meski hanya berlaku umat Islam, sejumlah partai seperti MCA dan Partai Aksi Demokratik, DAP, yang oposisi yakin bahwa ketentuan sistem peradilan pidana ganda di negara yang multi-etnis seperti Malaysia merupakan sistem yang melanggar konstitusi.

Saat ini, sejumlah masalah tertentu saja, seperti permasalahan keluarga dan properti sengketa, yang melibatkan pengadilan syariah dan hanya berlaku kepada umat Muslim.

Selain itu, para pakar juga mempertanyakan sikap yang semakin ramah antara UMNO dengan PAS, partai yang yang terkait dalam koalisi oposisi Pakatan Harapan, sebelum santer RUU hukum hudud. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER