Sengkarut ASEAN-China di Laut China Selatan

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Selasa, 21 Jun 2016 11:39 WIB
Perairan Laut China Selatan sudah menjadi sumber sengketa negara ASEAN dan China sejak China mengklaim LCS dengan 'Nine-dashed line'.
Klaim nine-dashed line China di LCS yang bersinggungan dengan negara-negara ASEAN. (U.S. Central Intelligence Agency)
Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk kedua kalinya pada tahun ini, otoritas Republik Indonesia menembaki kapal China yang memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, dengan dugaan penangkapan ikan secara ilegal, yang terakhir pada Jumat lalu. Akibat insiden Jumat, Kementerian Luar Negeri China mengklaim satu nelayan terluka, sementara Menlu RI Retno Marsudi membantah ada korban luka.

Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Edi Sucipto, menuturkan bahwa insiden ini bermula ketika Kapal Perang (KRI) Imam Bonjol-383 sedang berpatroli di Natuna. Awak kapal menerima laporan intai udara maritim berbunyi, "Ada 12 kapal ikan asing yang melakukan aksi pencurian ikan di Natuna."

KRI Imam Bonjol yang berada di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) pun bergerak mendekati kedua belas kapal tersebut. Namun saat didekati, kapal itu kabur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“KRI Imam Bonjol pun mengejarnya dan memberikan peringatan melalui tembakan, namun diabaikan. Akhirnya setelah beberapa kali tembakan peringatan dan salah satunya mengarah ke haluan kapal, satu dari 12 kapal ikan asing itu dapat dihentikan,” ujar Edi.

Satu kapal berbendera China yang berhasil ditangkap itu kemudian diperiksa. Indonesia menurunkan Tim Visit Board Search and Seizure (VBSS). Hasil pengecekan menunjukkan kapal tersebut diawaki enam pria dan satu wanita yang diduga berkewarganegaraan China.

Di lain pihak, China melayangkan protes resmi atas insiden tersebut dan meminta Indonesia tidak mengambil tindakan yang dapat memperumit situasi.

Kemlu China menegaskan bahwa kapal itu ditembak saat sedang menangkap ikan di zona perikanan tradisional mereka, satu alibi yang sebenarnya sudah dibantah oleh Menteri Perikanan dan Kelautan RI, Susi Pudjiastuti, saat terjadi insiden serupa pada Maret lalu.

"Saya ingin meng-counter bahwa traditional fishing zone itu tak diakui dalam internasional. Itu adalah klaim sepihak dan tidak diakui dunia internasional," kata Susi saat konferensi pers di kantornya saat itu.

Insiden itu berujung penangkapan delapan anak buah kapal China.

Pemerintah China mengetahui adanya penangkapan tersebut. Mereka tetap menegaskan bahwa tempat kejadian berada di perairan perikanan tradisional China. Pihak China mendesak Indonesia agar membebaskan ABK China dan menjamin keamanan mereka.

Foto satelit pada April 2015 yang menunjukkan pembangunan pulau buatan China di Fiery Cross Reef di Laut China Selatan. (Reuters)
Wilayah Natuna masuk Nine-dashed line

Selain membantah adanya zona perikanan tradisional itu, pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa Natuna merupakan wilayah resmi Nusantara.

Sebelumnya, sempat terjadi ketegangan antara Indonesia dan China karena Beijing menarik sembilan garis putus-putus yang termasuk beberapa wilayah perairan Natuna di dalam peta mereka.

Nine-dashed line ialah garis demarkasi atau batas pemisah yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.

Setelah insiden KM Kway Fey ini, Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi, pun kembali menegaskan kepemilikan Natuna.

"Pulau-pulau terluar pada Gugusan Natuna yang dijadikan titik dasar terluar wilayah Indonesia telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 1957," ujar Retno.

Retno menekankan bahwa titik dasar ini telah didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.

Dalam pernyataannya, Retno menegaskan bahwa berdasarkan garis pangkal terluar tersebut, Indonesia memiliki tumpang tindih landas kontinen hanya dengan dua negara, yaitu Malaysia dan Vietnam.

Pada April, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, pun melawat ke China dan menyatakan bahwa Indonesia dan China sepakat mengakhiri ketegangan terkait masalah perikanan di Laut China Selatan.

Namun pada Mei, terjadi lagi penangkapan oleh KRI Oswald terhadap satu kapal nelayan China yang mencuri ikan di Natuna pada Mei lalu.

Lagi-lagi, Kemlu RI menegaskan kepemilikan Natuna dan menegaskan bahwa Indonesia bukan pihak yang ikut bersengketa di Laut China Selatan.

TNI Angkatan Laut menangkap kapal China di Natuna. (Dok. Dinas Penerangan Angkatan Laut)
Sengketa ASEAN dan China di LCS

Selama ini, LCS memang menjadi lahan sengketa antara China dan sejumlah negara ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

LCS merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia dengan nilai perdagangan mencapai US$5 triliun per tahun.

Ketegangan terakhir mengemuka antara China dan Filipina menjelang persiapan pengadilan internasional di Den Haag untuk memberikan putusan dalam beberapa bulan ke depan terkait sengketa wilayah di LCS yang diajukan oleh Manila pada 2013.

Filipina menolak klaim China di suatu wilayah yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus hingga ke perairan Asia Tenggara. Sengketa wilayah ini meliputi ratusan pulau dan terumbu karang.

Manila juga berupaya mencari klarifikasi dari hukum maritim PBB yang dapat melemahkan klaim China yang mencapai 90 persen wilayah Laut China Selatan.

China bahkan membangun pulau buatan di wilayah Kepulauan Spratly di LCS--sumber sengketa dengan Filipina, Thailand, Vietnam, Brunei, Malaysia--lengkap dengan fasilitas militer dan radar pengintai. China juga membangun berbagai fasilitas di Kepulauan Paracel, yang menjadi sumber sengketa dengan Vietnam dan Taiwan.

Dengan dalih menegaskan kebebasan berlayar di wilayah internasional, Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekat Filipina pun mengirimkan kapal perangnya ke dekat Pulau Spratly.

Filipina dan AS bahkan sudah melakukan patroli angkatan laut bersama di LCS, satu upaya yang disebut-sebut sebagai upaya Washington meningkatkan pengaruhnya di Asia.

Di tengah kemelut ini, para menteri luar negeri anggota ASEAN pun mengadakan pertemuan dengan China di Kunming pada 13-14 Juni lalu. Di sela pertemuan, ASEAN mengeluarkan panduan media untuk pernyataan mengenai Laut China Selatan.

Dalam panduan berupa pernyataan yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Malaysia ini, ASEAN memang tak menyebut langsung China, tapi mengatakan bahwa perkembangan situasi belakangan ini di Laut China Selatan menyebabkan meningkatnya ketegangan.

"Kami menyampaikan perhatian serius kami terhadap perkembangan belakangan ini yang mengikis kepercayaan, meningkatkan ketegangan dan yang kemungkinan dapat berpotensi merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Laut China Selatan," demikian bunyi pernyataan itu seperti dikutip Reuters.

Namun hanya berselang beberapa jam, juru bicara Kemlu Malaysia menarik pernyataan itu dan mengatakan "akan ada amandemen penting yang akan dibuat." Juru bicara Kemlu China, Lu Kang, pun mengatakan bahwa pernyataan itu bukan resmi dari ASEAN.

Penarikan panduan ini pun menjadi perhatian media. Juru Bicara Kemlu RI, Arrmanatha Nasir, pun menjelaskan bahwa pernyataan yang beredar itu sebenarnya merupakan panduan bagi para menlu ASEAN untuk disampaikan kepada media setelah pertemuan berlangsung.

Namun, karena pertemuan berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan, konferensi pers itu batal dilaksanakan. Menurut Arrmanatha, beberapa menlu ASEAN sudah harus meninggalkan lokasi.

"Kontennya sebenarnya sudah disepakati, tapi bentuknya apa, itu belum tahu. Karena bentuknya seperti apa, itu akan berpengaruh, apakah pernyataan bersama, komunike, itu kan dampaknya akan beda. Itu yang belum diketahui," kata Arrmanatha. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER