Jakarta, CNN Indonesia -- Para politisi Inggris meluncurkan serangan lintas partai dalam perdebatan soal keanggotaan Inggris di Uni Eropa menjelang referendum Brexit Wali Kota London yang merupakan politisi partai Buruh, Sadiq Khan, misalnya, terlihat kompak dengan Ruth Davidson dari Republik dalam menyerang politisi Republik lainnya, Boris Johnson.
Hanya sehari sebelum para pemilih memutuskan nasib keanggotan Inggris di Uni Eropa, debat yang digelar di Wembley pada Selasa (21/6) malam berlangsung panas. Khan menuding Johnson meluncurkan "proyek kebencian" dengan menyebarkan ketakutan soal imigrasi dalam upaya menggali dukungan untuk kampanye 'Keluar'.
Khan, juga pro-Uni Eropa, menyatakan bahwa gerakan Brexit penuh dengan "kebohongan besar" bahwa Turki akan segera bergabung dengan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hadapan 6.000 penonton yang menghadiri debat referendum terbesar itu, Johnson menyerang balik dengan menyatakan bahwa Khan sendiri baru-baru ini menyatakan Partai Buruh seharusnya mendengarkan keluhan warga soal imigrasi dan tidak serta mereta berprasangka.
Ia juga menuduh para rivalnya untuk tidak membuang waktu dengan mencoba memicu kekhawatiran masyarakat jika Inggris keluar dari Uni Eropa. "Mereka mengatakan bahwa mereka menyerukan hal yang positif dan patriotik, tetapi beberapa menit setelah perdebatan ini mereka akan kembali mengetengahkan ketakutan," ujarnya.
Johnson juga menghadapi serangan politik dari Davidson, pemimpin partainya di Skotlandia, yang pandangannya menuai pujian dari seluruh spektrum politik Inggris.
Davidson menyerang Johnson dengan pertanyaan, "Bagaimana jika [keluar dari UE membuat] warga kehilangan pekerjaan?" Johnson dengan enteng menjawab, "Bisa jadi, bisa juga tidak," dikutip dari
The Guardian.
Dia juga menuduh rival lainnya, Andrea Leadsom, menceritakan kebohongan soal berapa banyak undang-undang yang dibentuk di Brussels, ibu kota Belgia dan pusat parlemen Uni Eropa, yang memengaruhi kebijakan dalam negeri Inggris.
Menirukan seruan sang Perdana Menteri David Cameron, Davidson menyerukan kepada warga Inggris agar tidak memilih meninggalkan Uni Eropa kecuali mereka yakin 100 persen akan cara itu. Pasalnya, sekali keluar, Inggris tak akan mungkin kembali bergabung dengan Uni Eropa.
Davidson juga mendukung Khan soal imigrasi, dengan menyatakan bahwa Brexit bukanlah peluru perak untuk membendung imigran. Ia juga menegaskan bahwa Turki tidak akan bergabung dengan Uni Eropa dalam waktu dekat.
 Para politisi Inggris meluncurkan serangan lintas partai dalam perdebatan soal keanggotaan Inggris di Uni Eropa menjelang referendum Brexit. (Reuters/Stefan Rousseau/Pool) |
Saling serang terus berlanjut sepanjang malam, seiring dengan hasil jajak pendapat bahwa kedua kubu memiliki kesempatan besar dalam referendum, dengan kemungkinan 50-50.
Johnson mengatakan bahwa hari digelarnya referendum bisa menjadi "hari kemerdekaan negara kita", dan mengatakan bahwa perdebatan itu tidak berguna karena para rivalnya "berbicara atas dasar ketakutan dan tidak penuh harapan seperti kami."
Menampik pernyataan Johnson, Khan membalas dengan mengklaim, "Kami tetap [berada di UE] dan melawan, kami tidak berhenti. Mengapa Anda mudah menyerah?"
Namun, komentra Khan menuai balasan dari politisi lainnya, Gisela Stuart, yang mengatakan bahwa ia adalah seorang imigran tetapi menilai bahwa kebijakan Inggris mendiskriminasi orang-orang dari luar Eropa.
Stuart dan Khan juga tidak setuju atas hak-hak pekerja. Stuart mengatakan ia pertama kali bergabung dengan serikat buruh sekitar 45 tahun yang lalu, tetapi euro merupakan "proyek yang rusak" dan Uni Eropa tidak bisa melindungi lapangan pekerjaan.
Khan membalas, "Gisela, Anda sangat salah. Setiap kali Anda dan saya melobi untuk hak-hak pekerja, mereka [Konservatif] berada di sisi lain," ujarnya.
Debat malam itu berakhir meski situasi masih memanas. Namun, Johnson berjanji bahwa dia bersedia meminta maaf di depan publik jika Inggris mengalami resesi usai meninggalkan Uni Eropa.
Referendum Brexit akan digelar pada Kamis (23/6) waktu setempat. Seluruh warga Inggris yang berusia di atas 18 tahun bisa memberikan suara "ya" atau "tidak". Kubu mana pun yang mendapatkan lebih dari setengah suara akan memenangkan referendum.
(ama/stu)