Jakarta, CNN Indonesia -- Perdana menteri Thailand Prayuth Chan-ocha memastikan bahwa terlepas dari apapun hasil referendum yang akan digelar akhir pekan ini, pemilihan umum akan tetap digelar pada 2017 mendatang.
Dua tahun setelah militer merebut kekuasaan dalam Mei 2014 melalui kudeta, rakyat Thailand akan memilih apakah akan menerima rancangan konstitusi yang didukung militer pada Minggu (7/8). Para pakar menilai RUU ini akan menguatkan cengkraman militer di negara yang didera ketidakstabilan politik dalam satu dekade terakhir.
Jika konstitusi itu disetujui rakyat, maka pemerintahan junta militer dapat mengklaim legitimasi dan merencanakan pemilu. Namun jika rakyat menolak, terdapat kekhawatiran bahwa junta akan kembali menunda pemilu yang membentuk pemerintahan demokratis, dan menawarkan RUU yang baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbicara kepada para wartawan di pangkalan militer Provinsi Nakhon Nayok, sekitar 115 km sebelah timur laut Bangkok, Prayuth mendesak rakyat Thailand untuk berpartisipasi dalam referendum. Ia juga menegaskan bahwa pemilihan umum akan tetap diadakan pada 2017.
"Dalam dua hari ke depan masa depan negara akan diputuskan," kata Prayuth, Jumat (5/8), dikutip dari
Reuters.
"Kita perlu mengadakan pemilihan umum pada 2017 karena itu adalah janji yang kami buat," ujar Prayuth menambahkan.
Prayuth menegaskan ia akan berpartisipasi dalam referendum, dan menerima RUU yang diusulkan. "Tidak akan ada RUU yang menyenangkan rakyat 100 persen. Saya akan ambil bagian dalam referendum sebagai warga negara dan saya akan memilih untuk menerima konstitusi," ujar Prayuth.
Para pakar menilai referendum ini akan menjadi ajang tolak ukur untuk menimbang popularitas junta di mata rakyat Thailand.
Rancangan konstitusi diperlukan karena pemerintahan junta saat ini menolak konstitusi yang ada ketika mereka meluncurkan kudeta. Kritikus berpendapat rancangan konstitusi yang baru akan mengabadikan kekuasaan militer di dalam pemerintahan Thailand. Tuduhan ini ditampik oleh junta dan komite yang menulis RUU.
Berdasarkan rancangan konsitusi yang diusulkan, Senat yang ditunjuk oleh militer akan menyediakan kursi bagi para komandan militer, dan akan mengawasi kinerha para anggota parlemen yang terpilih secara demokratis. Jika rakyat menerima, RUU ini akan menjadi konstitusi Thailand yang ke-20, setelah negara itu menghapuskan sistem monarki absolut pada 1932.
Dalam wawancara Reuters dengan sejumlah perwira senior mengindikasikan terdapat ambisi di kubu militer untuk mencegah kudeta kembali terjadi, salah satunya dengan cara merancang konstitusi baru yang memastikan militer memiliki peran dalam mengawasi pembangunan ekonomi dan politik Thailand.
Sejak 1932, Thailand telah mengalami 19 kali kudeta, sebanyak 12 di antaranya berhasil. Dengan kata lain, sebanyak 12 perdana menteri dari seluruh 29 perdana menteri yang pernah menjabat di Thailand berasal dari kubu militer yang meluncurkan kudeta.
(ama)