Jakarta, CNN Indonesia -- Keberhasilan Cendikiawan Suryaatmadja, atau biasa dipanggil Diki, menjadi mahasiswa termuda di Universitas Waterloo, Kanada, ternyata tak lepas dari kerja keras bocah berusia 12 tahun itu untuk terus belajar dan mengembangkan bakatnya.
Selain itu, orang tua Diki juga mengungkapkan bahwa kebahagiaan sang anak dan faktor keberuntungan membuat Diki dapat mengenyam pendidikan tinggi di usia yang begitu belia.
Ibu Diki, Hanniy, menceritakan kecerdasan Diki sudah terlihat dari sang anak baru berusia enam bulan. Saat itu, Diki bahkan sudah berupaya menggunakan logikanya untuk membuka gagang pintu, jika ia ditinggal sendiri di dalam kamar. "Ia menumpuk bantal sampai bisa mencapai gagang pintu," ujar Hanniy ketika dihubungi
CNN Indonesia.com, Kamis (8/9).
Kecerdasan Diki terus terlihat, utamanya ketika ia memasuki bangku sekolah dasar. Sejak duduk di bangku kelas 1 SD, Diki kerap menggunakan logikanya untuk menyerap pelajaran yang diberikan para guru. Contohnya, ketika sang guru mengajari bahwa papan tulis berguna untuk 'menulis', Diki menjawab bahwa papan tulis adalah untuk 'ditulisi'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Papan tulis kan tidak bisa bergerak, jadi tidak bisa 'menulis'. Kalau bisa, lalu apa guna spidol dan kapur? Jadi papan tulis bukan untuk menulis, tapi untuk ditulisi," ujar sang ibu meniru perkataan Diki.
Kecerdasan Diki yang melebihi anak-anak seusianya membuat ia diperbolehkan lompat kelas. Dari kelas 1, ia kemudian naik kelas 3, lalu ke kelas 4. Itu pun, Diki tidak setiap hari masuk kelas, hanya satu-dua hari dalam seminggu. Diki menghabiskan kurang dari tiga tahun hingga ia duduk di bangku kelas 4.
Diki kemudian sempat berpindah sekolah ke Singapura. Namun, kebijakan negara itu membuat ia tak dapat lompat kelas. Sang ibu kemudian memutuskan membawa Diki kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di SMP Kesatuan Bogor.
Kemampuan Diki saat itu sebenarnya bisa membuatnya duduk di bangku SMA. Namun, kebijakan pemerintah mengharuskan semua anak Indonesia memiliki ijazah SD, SMP dan SMA. Diki pun bersekolah dan beradaptasi kembali di SMP, meski ia banyak mengambil mata pelajaran untuk SMA.
Hanniy mengungkapkan, Fisika, Kimia dan Matematika merupakan tiga mata pelajaran yang paling disukai putranya. Menurut Diki, ketiga mata pelajaran menantang dan dapat mengubah dunia. "Dari kecil dia suka Fisika, logikanya berkembang sendiri. Dia memutuskan mendalami itu sejak usia sembilan tahun," ujar Hanniy.
Sang ibu menuturkan bahwa Diki gemar sekali belajar, dan merasa bahagia ketika melakukannya. Beruntung, berbagai pakar, akademisi dan profesor di Indonesia kemudian menawarkan Diki untuk belajar bersama mereka dan memperbolehkan Diki bertanya apapun ketika ia menghadapi kesulitan. Salah satu akademisi yang membantunya adalah Prof Yohannes Surya.
"Mungkin karena orang Indonesia pada dasarnya suka saling membantu, mereka ramah sekali dan sangat rendah hati. Mereka katakan kepada Diki, jangan sungkan untuk kapan saja datang, bertanya dan berdiskusi," tutur Hanniy.
Keberuntungan menghampiri Diki ketika ia tengah belajar dan berdiskusi dengan akademisi Madison Ginting, yang saat itu tengah dikunjungi oleh seorang profesor dari Universitas Waterloo, Kanada. Takjub dengan bakat Diki usai berbincang dengannya, sang profesor kemudian mengajukan agar Diki di tes ujian masuk universitas tersebut.
Diki kemudian diberi waktu tiga pekan untuk mempelajari bahasa Inggris sebelum ia menjalani tes IELTS. Hanniy menyatakan Diki belajar bahasa Inggris dengan otodidak, hanya dari internet. Hanniy mengaku bahkan ia sendiri tidak bisa bahasa Inggris. Hasilnya, Diki lulus tes IELTS dengan skor 8.
Bermain TimezoneMeski gemar memecahkan hal sulit dan akrab dengan rumus, Hanniy mengungkapkan Diki tak ubahnya seperti anak berusia 12 tahun pada umumnya. Setiap hari Minggu, ia rehat belajar dan menghabiskan waktu untuk bermain sepeda, nonton film, atau bermain Timezone.
"Hari Minggu adalah hari dia. Dia senang bermain di Timezone, mengumpulkan tiket lalu menukarkannya," ujar Hanniy.
Hanniy mengaku ia dan keluarga tidak khawatir atas perkembangan intelektualitas Diki, yang kini akan mengemban tugas-tugas kuliah. "Sama sekali tidak khawatir, satu hal yang tidak boleh dalam mendidik anak adalah pemaksaan. Justru kalau saya mengekangnya, melarangnya, ia tidak bahagia," kata Hanniy.
Hanniy juga mengungkapkan ia memberikan kepercayaan penuh kepada Diki, khususnya di era teknologi global seperti sekarang ini. Selama di Kanada, Diki juga tidak tinggal bersamanya, namun dengan orang tua angkat yang menyediakan tempat tinggal untuknya di Kanada
"Saya memberikan kepercayaan penuh terhadapnya. Dia tahu kok mana yang boleh mana yang tidak," ujar Hanniy.
Diki kini tengah menjalani masa orientasi di Universitas Waterloo. Selama masa studinya, Hanniy dan keluarga diberikan akses khusus untuk mendampinginya sewaktu-waktunya. Mengingat Diki baru berusia 12 tahun, Diki akan dibimbing oleh tiga profesor khusus dan didampingi oleh tiga mentor khusus.
Hanniy juga memastikan bahwa usai mengenyam pendidikan di Kanada, Diki akan pulang dan berbakti untuk membangun Indonesia. "Dia selama ini makan, minum dan menghirup udara Indonesia, dia pasti akan pulang untuk membantu bangsa," ujar Hanniy.
(ama)