Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menilai Inggris harus meminta maaf karena telah mendeklarasikan dukungan atas berdirinya permukiman Yahudi di Palestina pada 1917 silam. Abbas juga meminta pemerintah Inggris mengakui kedaulatan Palestina sebagai sebuah negara.
Berbicara di Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, pada Kamis (22/9), Abbas menyatakan bahwa rakyat Palestina telah sangat menderita karena Deklarasi Balfour yang didukung oleh Inggris. Dalam deklarasi itu, disebutkan bahwa Inggris mendukung pembentukan pembangunan permukiman nasional untuk kaum Yahudi di Palestina, namun seharusnya tak merusak hak hidup orang lain di sana.
"Kami meminta Inggris Raya, menjelang peringatan 100 tahun sejak deklarasi ini, untuk menarik pelajaran dan bertanggung jawab secara sejarah, hukum, politik, material dan moral atas konsekuensi dari deklarasi ini, termasuk permintaan maaf kepada rakyat Palestina atas bencana, penderitaan dan ketidakadilan yang didukung oleh deklarasi ini, [dan agar Inggris] melakukan tindakan untuk memperbaiki bencana dan memperbaiki konsekuensinya, termasuk pengakuan negara Palestina," ujar Abbas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini hal yang terkecil yang bisa Inggris lakukan," tuturnya, dikutip dari
Reuters.
Dalam pidatonya, Abbas menyinggung soal deklarasi Belfour tahun 1917, bersama dengan resolusi PBB yang bersejarah, yakni resolusi Majelis Umum PBB tahun 1948 yang membagi Palestina ke dalam dua negara. Abbas juga menyinggung soal perang tahun 1967 ketika Israel mengokupasi Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Terkait pernyataan Abbas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meluncurkan kritik bahwa Abbas hanya berfokus pada deklarasi.
"Presiden Abbas baru saja menyerang Deklarasi Balfour dari atas podium ini. Dia sedang mempersiapkan gugatan terhadap Inggris untuk deklarasi tahun 1917. [Deklarasi yang] hampir 100 tahun lalu. Ini soal terjebak di masa lalu," kata Netanyahu, yang berpidato di podium yang sama, tak lama setelah Abbas.
Dalam sambutannya, Netanyahu juga mengkritik PBB karena kerap kali mengesahkan resolusi yang mengecam Israel. "PBB, yang dimulai sebagai kekuatan moral, kini telah berubah menjadi lelucon moral."
Netanyahu juga mengundang Abbas untuk berbicara di parlemen Israel, Knesset, dan menyatakan ia akan "dengan senang hati" datang ke Ramallah untuk berbicara di hadapan Dewan Legislatif Palestina.
Tidak jelas apakah tawaran yang dilontarkan Netanyahu serius. Pasalnya, Parlemen Palestina belum pernah bertemu sejak 2007 dan pemimpin Arab pertama yang berpidato di Knesset, Anwar Sadat dari Mesir pada 1977, tewas dibunuh pada 1981, setelah Mesir berdamai dengan Israel.
Desakan Palestina agar Inggris meminta maaf sudah terlihat sejak Juli lalu, ketika rekaman video yang beredar secara daring memperlihatkan Menteri Luar Negeri Palestina Riad al-Malki membaca pidato atas nama Abbas, meminta agar KTT Arab mendukung Palestina dalam penyusunan tuntutan hukum terhadap pemerintah Inggris atas deklarasi tersebut.
Pernyataan Abbas dan tanggapan dari Netanyahu menegaskan bahwa diskusi perdamaian antara Israel-Palestina nampaknya tidak akan berlanjut dalam waktu dekat.
Sementara itu, satu-satunya pemimpin negara yang berbicara di jeda waktu antara pidato Abbas dan Netanyahu adalah Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg. Norwegia merupakan negara penengah ketika pembicaraan rahasia untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina berlangsung pada 1993. Pembicaraan itu menghasilkan Perjanjian Oslo.
Hingga saat ini, utusan Inggris untuk PBB belum berkomentar terkait desakan dari Palestina untuk meminta maaf.
Pembicaraan damai antara Israel-Palestina terhenti pada 2014 dan nampaknya tidak akan berlanjut dalam waktu dekat mengingat serangkaian serangan antara kedua negara beberapa bulan terakhir. Palestina juga terus mengecam pembangunan permukiman Israel di tanah Palestina yang diduduki. Menurut publik internasional, permukiman Israel itu ilegal.
Deklarasi Balfour yang disinggung Abbas menyatakan bahwa, "Kerajaan [Inggris] yang Mulia mendukung pembentukan permukiman di Palestina, yakni pembagunan rumah nasional bagi kaum Yahudi, dan akan melakukan upaya terbaik demi tercapainya pembangunan itu. Agar dipahami dengan jelas bahwa [pembangunan ini] tidak boleh mengganggu hak sipil dan hak beragama masyarakat lain non-Yahudi di Palestina, begitu juga hak dan status politik Yahudi di negara lain."
Para pakar berpendapat bahwa saat itu mayoritas warga merupakan komunitas Arab, dan deklarasi ini tidak memperhitungkan hal tersebut.
Isu sentral yang harus diselesaikan dalam konflik Israel-Palestina meliputi banyak hal, termasuk perbatasan, masa depan permukiman Yahudi di Tepi Barat, nasib pengungsi Palestina dan status kota Yerusalem.
(ama/stu)