Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara tim transisi Donald Trump, Jason Miller, mengklaim presiden Amerika Serikat terpilih itu "tidak pernah menganjurkan" untuk menerapkan kembali kebijakan keimigrasian ketat bagi para imigran Muslim.
"Presiden terpilih, Trump tidak pernah menyarankan sistem keimigrasian yang mengharuskan adanya pelacakan identitas individu berdasarkan agama mereka untuk menentukan mereka bisa atau tidak masuk ke AS," ucap Miller seperti dikutip
Guardian, Jumat (18/11).
Klaim ini muncul seiring munculnya berbagai pemberitaan yang menyatakan pemerintahan baru Trump tengah menggodok kembali kebijakan imigrasi ketat bagi imigran yang berasal dari negara-negara Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peraturan imigrasi ketat bagi imigran dan pengunjung, yang berasal dari negara-negara berkategori beresiko tinggi akan aktivitas terorisme, memang pernah diterapkan AS saat pemerintahan George W Bush. Kebijakan imigrasi ketat itu diterapkan usai aksi terorisme yang menguncang AS pada 11 September 2001 lalu.
Namun, pernyataan Miller tersebut berkontradiksi dengan sikap dan komentar yang selama ini Trump tunjukan selama masa kampanye.
Cuplikan video kampanye Trump di Newton, Iowa, pada November 2015 lalu menunjukan bahwa konglomerat asal New York itu sangat mantap untuk menerapkan kebijakan imigrasi AS yang ketat bagi imigran Muslim jika kelak dirinya menjadi Presiden AS.
Dalam video itu, Trump mendapat pertanyaan mengenai apakah dirinya akan mengimplementasikan bank data orang-orang Muslim. Dengan mantap Trump menjawab, "Saya pasti akan melaksanakan itu. Pasti."
Selain itu, Trump juga menegaskan bahwa setiap warga muslim yang ada dan ingin masuk ke AS diwajibkan secara hukum terdaftar di bank data pemerintah. Tak hanya mekanisme bank data, menurutnya, sistem keimigrasian ketat lainnya harus diterapkan bagi kaum Muslim yang ingin datang ke AS.
Dalam kampanyenya, Trump bahkan berencana melarang sementara semua Muslim untuk memasuki AS jika ia berhasil menang pemilu. Trump menyebutkan akan melakukan "pemeriksaan ekstrem" bagi pengungsi dan umat Islam di AS.
Dalam debat capres terakhir, Trump juga mengatakan bahwa pemerintah AS seharusnya menyebut terorisme dengan "teroris Islam radikal", istilah yang ditolak oleh pemerintah Barack Obama.
Pernyataan Trump tersebut sontak menarik kecaman luas dari warga AS, bahkan internasional, khususnya Dewan Hubungan Islam-Amerika, dan rival politik Trump saat kampanye, Hillary Clinton.
Hingga saat ini, perwakilan Trump belum menanggapi dan mengklarifikasi persoalan ini.
Sebelumnya, Kris Kobach, seorang pejabat negara bagian Kansas, mengatakan bahwa presiden terpilih Donald Trump sedang membicarakan kemungkinan menerapkan kembali kebijakan imigrasi bagi imigran yang berasal dari negara-negara Islam.
Kobach yang disebut-sebut media lokal sebagai anggota penting dalam tim transisi Trump, mengaku sudah mengikuti beberapa pertemuan dengan sejumlah penasihat imigrasi presiden terpilih tersebut selama beberapa bulan belakangan. Namun, tim transisi Trump sendiri belum mengonfirmasi peran Kobach dalam tim mereka.
Kepada
Reuters, Kobach mengatakan bahwa kini tim itu sedang menyusun draf rancangan kebijakan tersebut agar dapat segera didiskusikan oleh Trump dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS.
Rancangan kebijakan imigrasi ini, tutur Kobach, hampir serupa dengan program keamanan nasional yang pernah AS terapkan dalam kebijakan keimigrasian pasca serangan 11 September 2001.
Di bawah rancangan program bertajuk Sistem Keamanan Nasional Registrasi Keluar-Masuk (NSEERS) ini, orang-orang yang berasal dari negara "berisiko tinggi" harus diinterogasi dan diambil sidik jarinya ketika memasuki AS.
Dalam program keimigrasian itu, pria asing berusia di atas 16 tahun dari negara yang memiliki ancaman militan aktif juga harus mendaftarkan diri di kantor pemerintahan, serta diwajibkan diperiksa secara berkala.
Semenjak kemenangannya di pemilu presiden AS 8 November lalu, Trump tak pernah menyinggung masalah imigran lagi. Namun, baru-baru ini, Trump menyampaikan salah satu prioritas utama di awal masa jabatannya adalah untuk mendeportasi tiga juta imigran ilegal dari AS.