Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai kekerasan dan pembunuhan dilaporkan terus terjadi terhadap warga Muslim etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, sebelah Barat Myanmar. Meski konflik ini sudah menewaskan setidaknya 130 orang, namun pemerintah Myanmar tak juga meluncurkan solusi yang konkret.
Aktivis Myanmar sekaligus Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win, mengaku kecewa terhadap sikap Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi yang seakan mendiamkan konflik kemanusiaan di Rakhine. Suu Kyi, yang posisinya saat ini berada di atas Presiden Htin Kyaw, hingga kini masih bungkam dan tidak meluncurkan komentar apapun terkait konflik ini.
"Saya melihat tidak solusi dari pemerintah. Karena pemerintah sendiri yang membuat akar permasalahannya," ungkap Kyaw ketika berbincang dengan
CNN Indonesia.com di Jakarta, Kamis (24/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Kyaw, kekerasan terhadap etnis Rohingya dipicu oleh kebijakan pemerintahanya sendiri yang memicu pembentukan persepsi publik yang buruk bagi etnis yang hingga saat ini tidak diakui pemerintah.
Masyarakat Myanmar memang terdiri dari beragam etnis, dengan mayoritas warga Myanmar menganut agama Buddha. Berdasarkan tulisan Benjamin Zawacki berjudul
Defining Myanmar's "Rohingya Problem", Myanmar memiliki setidaknya sekitar 130 etnis resmi, tidak termasuk etnis Rohingya.
Menurut Kyaw, etnis minoritas Muslim di sana, khususnya kaum Rohingya sejak dulu kerap menjadi sasaran diskriminasi. Mereka tidak memiliki akte kelahiran, surat kematian, tidak dapat bersekolah dan tidak memiliki pekerjaan.
Berdasarkan hukum kewarganegaraan tahun 1982 di Myanmar, status kewarganegaraan mengategorikan warga dalam tiga kelas yakni warga asli, asosiasi, dan naturalisasi. Kyaw memaparkan, Myanmar mewajibkan warga untuk memperbarui kartu identitas melalui tiga tahap yakni ketika warga berusia 10, 18, dan 35 tahun.
Menurut Kyaw, seseorang harus menganut agama Buddha untuk dapat menjadi warga Myanmar yang sesungguhnya.
"Jika dia bukan Buddha, mereka anggap orang tersebut bukan warga asli Myanmar. Orang harus menuliskan bahwa ia keturunan asing," papar Kyaw.
"Kerabat saya yang semula beragama Budha lalu pindah menjadi Muslim harus ditolak pembaharuan identitasnya disaat dirinya melapor di usia 35 tahun. Dia tidak bisa disebut lagi sebagai warga asli Myanmar, tuturnya.
Suu Kyi melalui partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berhasil memenangi pemilu parlemen secara demokratis pertama di Myanmar pada 2015 lalu.
Namun, Suu Kyi yang dianggap sebagai tokoh demokrasi di Myanmar ini dinilai belum benar-benar bisa menerapkan nilai demokrasi di negara tersebut, khususnya penegakan HAM.
Hal ini sangat disayangkan oleh Kyaw dan publik internasional lantaran banyak kaum minoritas di Myanmar yang menyatakan dukungan dan harapannya pada Suu sehingga dapat memenangi pemilu.
Mengutip
The Guardian, dari 99 persen suara yang masuk, NLD memenangkan 390 kursi pada kedua badan parlemen Myanmar yakni Amyotha Hluttaw (MPR) dan Pyithu Hluttaw (DPR). Sementara Partai Pembangunan dan Solidaritas (USDP), yangmerupakan partai petahana hanya berhasil meraih 41 kursi.
"Dia (Suu Kyi) merupakan tokoh figur yang diikuti banyak masyarakat. Namun sayangnya, dia malah mengikuti pola pikir publik yang fanatik," kata Kyaw.
(stu)