Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah karyawan imigran di restoran cepat saji McDonald's Malaysia mengaku menjadi korban eksploitasi. Sebagian tenaga kerja perusahaan tersebut mengklaim menerima upah kerja rendah yang hanya sebesar 3,32 Ringgit Malaysia atau Rp10.000 per jamnya.
Laporan investigasi
The Guardian memaparkan, para pekerja resto cepat saji itu menjadi korban eksploitasi Human Connection HR, salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja yang dikontrak McDonald's Malaysia.
Dalam investigasinya, tim The Guardian mewawancarai 15 tenaga kerja yang tengah dan pernah bekerja di empat resto McDonald's di Kuala Lumpur. Seluruh karyawan itu berasal dari Nepal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika diwawancarai, para pekerja mengklaim telah ditipu soal jumlah gaji mereka. Upah para imigran tersebut dibayar tidak sesuai jumlah yang dijanjikan di Nepal.
Dalam kontraknya tertera bahwa para pekerja tidak perlu membayar retribusi pekerja asing. Biaya itu dijanjikan akan ditanggung oleh perusahaan.
Namun, berdasarkan slip gaji yang didapat oleh tim The Guardian, justru ada pengurangan upah para pekerja sebesar 25 persen setiap bulannya. Selain itu, perusahaan juga tidak membayar gaji mereka tepat waktu.
"Kami tidak punya uang untuk membeli makan karena tidak dibayar secara teratur. Bagaimana bisa kami bekerja dengan perut kosong? Saya pikir perusahaan ini bisa memberikan pendapatan yang baik. Namun nyatanya tidak, di sini saya merasa tidak memiliki masa depan," kata salah satu pekerja yang tidak disebutkan identitasnya.
Selain upah yang minim dan dibayar tidak tepat pada waktunya, salah satu karyawan juga menyebutkan pihak Human Connection menahan paspor mereka sehingga para pekerja tidak dapat berpergian ke luar negeri.
"Salah satu teman saya menangis di hadapan manajer, memohon agar dia bisa mengembalikan paspornya karena ingin mendatangi pemakaman anaknya di Nepal. Namun, manajer McDonald's tidak bisa berbuat apa-apa," ucap karyawan lainnya.
"Saya lebih baik mati daripada harus bekerja di McDonald's lagi."
Sebagian besar dari para pekerja itu terpaksa melarikan diri dari pekerjaan mereka tanpa paspor. Beberapa lainnya terpaksa membayar denda kontrak kerja agar paspor mereka bisa kembali. Tak jarang mantan pegawai McDonald's Malaysia mencari kerja secara ilegal tanpa paspor sekadar untuk bertahan hidup.
 Foto: Issei Kato McDonald's Malaysia tidak bisa melayani keluhan para pegawai yang mengaku dieksploitasi. (Reuters/Issei Kato) |
Beberapa aksi mogok kerja menuntut keterlambatan pembayaran gaji oleh perusahaan sempat dilakukan para karyawan pada awal tahun ini.
Sejumlah pekerja telah mengadukan keluhan mereka pada manajer perusahaan. Namun, perusahaan nampaknya lepas tangan dengan alasan bahwa pihak McDonald's Malaysia bukan perusahaan yang mempekerjakan mereka secara langsung.
Beberapa mantan pegawai kecewa karena perusahan telah gagal menanggapi eksploitasi yang dilakukan oleh Human Connection. Mereka mengaku telah mengadukan masalah upah dan penahanan paspor kepada perusahaan resto cepat saji itu namun tak kunjung mendapatkan bantuan.
"Saya berulang kali mengeluh tentang gaji ke pihak McDonald's. Manajer cabang mengaku telah mengirimkan surat kepada kantor pusat. Namun pihak McDonald's hanya mengatakan mereka sudah membayar upah kami kepada Human Connection," kata salah satu mantan pekerja.
Sementara itu, melalui surat elektronik pihak McDonald's Malaysia menyatakan telah memutus kontrak dengan Human Connection. McDonald's Malaysia juga menegaskan bahwa kesejahteraan staf merupakan prioritas perusahaan mereka.
"Belakangan kami sadar bahwa layanan yang disediakan oleh Human Connection tidak sesuai dengan standar kami. Untuk itu kami telah memutus kontrak dengan mereka," kutip surel tersebut.
Melalui pernyataan pers, pihak McDonald's pusat menyebutkan sekitar 90 persen pegawainya merupakan pegawai lokal di masing-masing negara. Namun, pihaknya tidak menampik bahwa mereka juga kerap bekerja sama dengan agen penyalur tenaga kerja untuk merekrut tenaga kerja asing.
"Kami kadang bekerja sama dengan agen penyalur yang mempekerjakan karyawan asing. Karyawan asing ini merupakan karyawan agensi tersebut, bukan McDonald's," bunyi pernyataan perusahaan.
McDonald's Malaysia juga mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk menyelidiki dan memverifikasi persoalan ini. Namun, karena para pekerja asing itu bukan merupakan tenaga kerja yang langsung direkrut oleh pihak McDonald's, resto cepat saji itu tidak dapat memenuhi keluhan para pegawai.
"Untuk sementara waktu, kami menyediakan bantuan berupa makanan dan kebutuhan lain bagi para pekerja sementara kami berupaya mengatasi masalah ini," lanjut pernyataan tersebut.
Perusahaan seperti McDonald's Malaysia tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak sadar.Aidan McQuade |
Tidak seperti resto McDonald's lainnya yang ada di Amerika Serikat dan Inggris, resto McDonald's di Malaysia dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tertentu alih-alih beroperasi menggunakan mekanisme waralaba.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan yang dilontarkan Human Connection mengenai dugaan eksploitasi tenaga kerja yang dituduhkan kepadanya.
Direktur badan Anti-Perbudakan Internasional, Aidan McQuade menyayangkan sikap McDonald's yang terkesan tidak dapat menanggapi permasalahan yang menimpa para pekerjanya itu.
Menurut McQuade, perusahaan seharusnya tidak bersembunyi di balik kode etik kontrak jika memang situasi yang ada mengharuskan mereka bertindak tidak sesuai dengan perjanjian. Perusahaan harus bisa mengambil langkah proaktif untuk memastikan mereka memang tidak memanfaatkan situasi tenaga kerja yang dieksploitasi.
"Perusahaan seperti McDonald's Malaysia tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak sadar dengan situasi yang menimpa tenaga kerja imigrannya itu," tutur McQuade.
"Perusahaan seharusnya bisa mengambil langkah proaktif untuk memastikan bahwa perusahaan penyalur tenaga kerja yang mereka kontrak berpegang pada hukum dan kode etik perusahaan," katanya menambahkan.
(aal)