Suu Kyi Tunda Kunjungan ke RI Bukan karena Ancaman Bom

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Selasa, 29 Nov 2016 16:26 WIB
Kedubes Myanmar di Jakarta menegaskan bahwa penundaan kunjungan Suu Kyi ke Jakarta bukan lantaran ancaman bom, melainkan karena munculnya konflik internal.
Kedubes Myanmar di Jakarta menegaskan bahwa penundaan kunjungan Suu Kyi ke Jakarta bukan lantaran ancaman bom, melainkan karena munculnya konflik internal. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta menyatakan penundaan kunjungan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi ke Indonesia bukan karena alasan keamanan, meski pekan lalu polisi mengungkapkan terdapat ancaman bom di kantor kedubes itu. Penundaan terjadi karena Suu Kyi ingin berfokus menyelesaikan sejumlah konflik di dalam negeri, termasuk soal gelombang kekerasan di Rakhine.

Suu Kyi dijadwalkan bertandang ke Jakarta dari tanggal 30 November hingga 2 Desember setelah mengunjungi Singapura. Namun, wakil direktur umum kementerian luar negeri Myanmar, Aye Aye Soe, menyatakan kepada AFP bahwa kunjungan peraih penghargaan Nobel Perdamaian itu ke Jakarta ditunda.

Sekretaris Pertama Kedubes Myanmar di Jakarta, Wint Wint Khaing Tun, mengonfirmasi penundaan kunjungan Suu Kyi ke Jakarta. Wint memaparkan pembatalan itu lantaran sejumlah serangan bermotif separatisme di negara bagian Shan dan gelombang kekerasan militer di negara bagian Rakhine.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami sedang menghadapi konflik internal, di Shan State maupun Rakhine State. Hal ini membuatnya [Suu Kyi] ingin berkonsentrasi menyelesaikan masalah itu," tutur Wint ketika dihubungi CNNIndonesia.com di Jakarta, Selasa (29/11).

Situasi di Shan, negara bagian Myanmar yang berbatasan dengan China, mulai memanas sejak Minggu (20/11) ketika tiga kelompok bersenjata menyerang sejumlah pos keamanan di Kota Muse dan Kutkai. Serangan itu menyebabkan 3.000 warga mengungsi ke China dan memicu aksi kekerasan yang meningkat antara militer dengan kelompok etnis bersenjata.

Sementara, gelombang kekerasan juga dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga Muslim etnis Rohingya di Rakhine, menyebabkan setidaknya 86 orang tewas. Tentara Myanmar dikabarkan melakukan pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap warga etnis Rohingya, khususnya di distrik Maungdaw, yang kini diisolasi. 

Suu Kyi, yang kini menjabat sebagai Penasihat Negara Myanmar dan berada di atas Presiden Htin Kyaw, menerima kecaman dari publik internasional lantaran belum meluncurkan pernyataan resmi maupun langkah konkret untuk menanggulangi konflik tersebut.

Bungkamnya tokoh demokrasi itu memicu aksi unjuk rasa di luar kantor Kedubes Myanmar di Jakarta pada Jumat (25/11) lalu. Sehari setelahnya, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengungkapkan bahwa Densus 88 menangkap dua orang tersangka teroris yang merencanakan pengeboman di sana.

Wint menegaskan bahwa pembatalan kunjungan Suu Kyi bukanlah karena rencana serangan bom tersebut. "Pembatalan kunjungan Suu Kyi [ke Jakarta] diumumkan sebelum kami mengetahui adanya ancaman bom tersebut," tuturnya.

Wint memaparkan, pihaknya bahkan pertama kali mengetahui soal penangkapan perencana bom dari laporan media, sebelum mendapat informasi dari kepolisian soal kemungkinan serangan itu.

Ditanya soal komentarnya terkait demonstrasi pekan lalu, Wint mengaku tidak takut ataupun khawatir aksi itu akan berubah menjadi kerusuhan. "Saya dan kawan-kawan di sini merasa tidak ada niatan dari para demonstran untuk memancing kerusuhan atau kekerasan," tuturnya.

Bukan soal Rohingya

Wint juga menuding bahwa konflik di Rakhine dibesar-besarkan oleh media demi kepentingan tertentu. Menurutnya, bentrokan itu bukan antara militer dengan etnis Rohingya, melainkan antara tentara dan kelompok bersenjata.

Suu Kyi Tunda Kunjungan ke RI Bukan karena Ancaman BomBungkamnya Suu Kyi terhadap kekerasan yang menimpa etnis Rohingya itu memicu aksi unjuk rasa di luar kantor Kedubes Myanmar di Jakarta pada Jumat (25/11) lalu. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Jadi ini bukan soal bentrokan militer dan Rohingya. Ini soal militer berupaya mengamankan situasi menyusul serangan di sejumlah pos polisi pada Oktober awal lalu oleh sekelompok pria bersenjata," tuturnya, menyampaikan pernyataan serupa dengan pemerintah Myanmar.

"Jadi ini konflik yang dikembangkan oleh media sehingga menjadi perhatian publik internasional," kata Wint.

Suu Kyi, kata Wint, dipastikan akan bertandang ke Indonesia, meski ia belum memiliki informasi resmi soal tanggal resmi kunjungan itu. Wint memaparkan, rencana kunjungan Suu Kyi mendatangi Indonesia menguat menyusul pertemuannya dengan Menteri BUMN Rini Soemarno di ibu kota Naypyidaw beberapa waktu lalu.

"Dia akan ke sini, kami tinggal tunggu pengaturan jadwalnya kembali. Namun, [kunjungan itu] kemungkinan tidak terjadi pada bulan Desember, mengingat tidak ada kecocokan jadwal dengan Presiden Jokowi di bulan itu. Jadi mungkin tahun depan," katanya.

Wint belum mengetahui pasti agenda apa yang akan dibawa Suu Kyi ketika bertemu dengan Jokowi. Namun, ia memperkirakan konflik yang menimpa warga Rohingya tidak akan dibahas oleh kedua negara.

"Mungkin soal mempromosikan perdagangan, penguatan kerja sama di bidang infrastruktur, atau yang lainnya. Saya belum pasti. Tapi kalau soal itu [kekerasan terhadap Rohingya], saya rasa tidak [akan dibahas]," ucapnya.

Gelombang kekerasan militer di Rakhine bermula pada awal Oktober lalu ketika tentara menuding "teroris Rohingya" menyerang tiga pos polisi dan menewaskan sembilan petugas, meski tidak ada bukti konkret.

Hingga saat ini, pemerintah Myanmar melaporkan korban dari bentrokan tersebut mencapai 86 orang, terdiri atas 17 tentara dan 69 etnis Rohingya. Namun menurut kelompok Rohingya, bentrokan itu sudah menelan lebih dari 400 nyawa.

Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu. Bentrokan saat itu menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

PBB melaporkan bahwa sekitar 30 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari aksi kekerasan di Rakhine dan berupaya menuju negara tetangga, Bangladesh. Namun dalam perjalanan melewati Sungat Naf yang membatasi kedua negara, sebagian pengungsi itu tewas ditembaki petugas penjaga perbatasan.

Selama ini, sebagian besar dari 1,1 juta total populasi Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam diskriminasi. Mereka ditolak karena dianggap imigran ilegal dari Bangladesh. Sementara, etnis Rohingya sendiri merasa sudah menjadi bagian dari Myanmar karena telah tinggal selama beberapa generasi di negara itu. (aal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER