Jakarta, CNN Indonesia -- Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang kini posisinya berada di atas presiden Htin Kyaw, seakan mengabaikan gelombang kekerasan yang kembali menimpa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine beberapa bulan terakhir. Bungkamnya tokoh demokrasi dan HAM itu dinilai karena peran militer masih bercokol kuat di pemerintahan Myanmar.
Militer memiliki sejarah yang panjang di Myanmar. Merdeka dari Inggris sejak 1948, Myanmar hanya sebentar dipimpin oleh pemerintahan sipil, lantaran terjadi kudeta militer tahun 1962. Pemerintahan junta militer pun berkuasa selama puluhan tahun, hingga negara itu mulai memeluk demokrasi pada 2010 dan bertransformasi menjadi pemerintahan semi-militer.
November tahun 2015 menandakan kali pertama pemilu demokratis berlangsung di Myanmar, setelah puluhan tahun rakyat tak punya hak suara untuk menentukan pemimpin. Partai oposisi terbesar, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi menang telak dalam pemilu itu, meski militer masih menguasai 25 persen kursi di parlemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivis Myanmar sekaligus Direktur Eksekutif
Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win, menilai militer masih berupaya menguasai pemerintahan dan urusan politik Myanmar. "Tidak seperti militer di Indonesia di mana pemerintahan sipil mengontrol militer, militer Myanmar masih ingin punya peran kuat di politik," ungkap Win kepada
CNN Indonesia.com, Kamis (24/11) di Jakarta.
Anggapan itu tercermin dari aksi kekerasan yang diluncurkan militer Myanmar terhadap etnis Rohingnya di negara bagian Rakhine sejak bulan Oktober lalu. Militer menuding serangan di tiga pos polisi di wilayah itu dilakukan oleh "teroris Rohingya" meski tak ada bukti konkret. Di distrik Maungdaw yang menjadi pusat konflik, militer Myanmar melakukan pembunuhan, pembakaran rumah dan pemerkosaan, menurut berbagai laporan media.
"Sementara masih adanya militer Myanmar yang bersikap opresif terhadap warga membuat pemerintah sipil tidak bisa melawan mereka," kata Win menambahkan.
Reuters melaporkan setidaknya 86 warga tewas dan 30 ribu lainnya melarikan diri akibat serangkaian aksi kekerasan militer terhadap Rohingya sejak Oktober tahun ini. Sementara, Human Rights Watch (HRW) melaporkan, berdasarkan pengamatan citra satelit, sebanyak 1.250 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah akibat hancur terbakar atau ambruk karena serangan militer.
Militer Myanmar mengerahkan operasi pembersihan dengan memperketat pengamanan di wilayah perbatasan dengan Bangladesh. Distrik Muangdaw ditutup dan dijaga dengan ketat, hingga bantuan kemanusiaan dilaporkan terhambat akibat operasi ini.
Menurut laporan PBB, terdapat 30 ribu orang yang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan terlantar di dalam negeri akibat aksi kekerasan ini. Terdapat juga berbagai laporan media bahwa ratusan warga etnis Rohingya berupaya melarikan diri ke Bangladesh, namun juga ditolak oleh penjaga perbatasan.
Reuters melaporkan, sejumlah warga Rohingya langsung ditembak mati saat mereka mencoba menyebrangi Sungai Naf, sungai yang memisahkan wilayah Myanmar dengan Bangladesh.
"Kekerasan masih di akukan oleh militer Myanmar. Karena mereka masih berkuasa, pemerintah tidak bisa apa-apa. Bahkan seorang jenderal senior tidak tersentuh oleh hukum. Menurut konstitusi, mereka bisa gulingkan Presiden," kata Win.
Tak hanya 25 persen kursi parlemen, militer Myanmar juga menguasai tiga kementerian yang sangat strategis, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Perbatasan dan Kementerian Dalam Negeri. Militer juga memiliki kuasa terhadap anggaran belanja negara dan secara hukum bisa mengambil alih pemerintahan jika Myanmar dinyatakan dalam kondisi bahaya.
Diskriminasi SistemikMenurut Win, kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis minoritas Muslim di Myanmar, khususnya terhadap Rohingya sudah berjalan sistematis dan mendapat dukungan dari pemerintah dan hukum di negara itu.
Berdasarkan hukum kewarganegaraan tahun 1982, status kewarganegaraan Myanmar mengategorikan warga dalam tiga kelas yakni warga asli, asosiasi, dan naturalisasi. Myanmar juga mewajibkan warga untuk memperbarui kartu identitas melalui tiga tahap yakni ketika warga berusia 10, 18, dan 35 tahun.
 Militer menuding serangan di tiga pos polisi di wilayah itu dilakukan oleh 'teroris Rohingya' meski tak ada bukti konkret. (AFP Photo/YE AUNG THU) |
Win memaparkan bahwa seseorang harus menganut agama Buddha untuk dapat menjadi warga Myanmar yang sesungguhnya. "Jika dia bukan [pemeluk] Buddha, mereka anggap orang tersebut bukan warga asli Myanmar. Ia harus menuliskan bahwa ia keturunan asing," tuturnya.
Berdasarkan tulisan Benjamin Zawacki berjudul
Defining Myanmar's "Rohingya Problem" pada 2012 lalu, Myanmar dihadapkan dengan diskriminasi sistemik: hukum, kebijakan, dan praktik, memaksa warga dan pemerintah untuk berlaku diskriminatif terhadap etnis minoritas khususnya Muslim Rohingya.
"Menurut otoritas Myanmar, pengertian diskriminasi adalah dengan melakukan kekerasan dan kekerasan itu entah bagaimana dianggap dapat dibenarkan," bunyi tulisan itu.
Selain itu, Win mengungkapkan bahwa pemerintahan Myanmar negara seakan membiarkan adanya gerakan doktrinisasi dari kelompok Buddhis ekstremis Ma Ba Tha, yang mengklaim sebagai asosiasi perlindungan ras dan agama Myanmar.
Menurut Win, organisasi ini sering membuka semacam kelas pelatihan kepemimpinan dan pelatihan media yang berisikan doktrin untuk membenci dan mengucilkan kaum minoritas. Pelatihan ini rutin diselenggarakan di ratusan kantor cabang mereka di penjuru Myanmar. Tak hanya itu, kelompok ini juga menargetkan anak kecil dalam upaya doktrinisasinya.
"Ma Ba Tha kerap mendoktrin dengan memberi ideologi-ideologi beracun tentang Muslim dan agama lain seperti Kristen. Bayangkan bila ini terjadi selama bertahun-tahun dan dilakukan pada anak-anak. Ketika mereka dewasa, penilaian mereka terhadap kaum minoritas akan penuh dengan kebencian," ucap Win.
Win menilai jika fenomena ini tidak berhenti akan dapat memicu pembunuhan massal terhadap etnis Rohingya sebagai etnis paling tertindas dan tidak diakui pemerintah. Tak hanya itu, Win menilai fenomena ini lambat laun juga mengancam etnis Muslim lainnya di penjuru Myanmar.
"Jika seperti ini saya melihat tidak ada solusi dari pemerintah untuk masalah kemanusiaan etnis Rohingya. Karena mereka (pemerintah) sendiri yang menciptakan masalah tersebut," tutur Win.
(ama)