Clinton Dukung Paparan Intel untuk Pemilih Electoral College

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Selasa, 13 Des 2016 12:34 WIB
Tim kampanye Clinton mendukung digelarnya pemaparan intelijen soal intervensi asing dalam pilpres AS bagi para pemilih Electoral College.
Tim kampanye Hillary Clinton mendukung pemberian pemaparan intelijen soal dugaan intervensi Rusia dalam pemilu AS sebelum Electoral College dilaksanakan. (Reuters/Carlos Barria)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemimpin tim kampanye mantan capres Amerika Serikat Hillary Clinton, John Podesta, mendukung pemberian pemaparan intelijen untuk para pemilih sebelum Electoral College digelar bulan ini. Pemaparan ini sesuai dengan kesimpulan Badan Intelijen Pusat AS (CIA) yang menyatakan ada campur tangan Rusia dalam proses pemilu AS November lalu.

Electoral College yang akan digelar pada 19 Desember mendatang merupakan tahap akhir yang akan mengesahkan presiden yang terpilih melalui pilpres pada November lalu. Terdapat 538 pemilih (electors) yang akan maju ke Electoral College, sesuai dengan jumlah suara pemilih (electoral votes) yang diperebutkan masing-masing capres pada pilpres. 

"Kami tahu, CIA telah menyimpulkan adanya campur tangan Rusia dalam pemilu kemarin yang bertujuan untuk memenangkan Donald Trump. Ini pasti membuat kecewa warga Amerika. Tidak pernah sebelumnya dalam sejarah negara ini ada upaya untuk melemahkan landasan demokrasi AS seperti ini," ungkap Podesta seperti dikutip CNN, Senin (12/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami percaya bahwa pemerintah berutang kepada warga Amerika untuk menjelaskan sejauh mana campur tangan Rusia dalam pemilu kemarin sesegera mungkin," kata Podesta menambahkan.

Pernyataan ini dilontarkan Podesta dan pendukung Clinton lainnya yang kerap mempertanyakan legitimasi kemenangan Trump dalam pemilu 8 November lalu. Menurut Podesta, para pemilih pada tahap Electoral College juga perlu mengkritisi legitimasi Trump sebelum taipan real-estate itu disahkan sebagai presiden. 

Komentar ini diluncurkan Podesta menyusul laporan CIA soal dugaan keterlibatan Moskow dalam pemilu AS kemarin. Komunitas intelijen baru-baru ini semakin yakin bahwa campur tangan Negara
 Beruang Merah itu dimaksudkan untuk memenangi Trump dalam pemilu presiden.

"Pemilih memiliki tanggung jawab dibawah konstitusi AS [untuk meratifikasi hasil pemilu] dan kami sangat mendukung mereka untuk mempertanyakan masalah yang dapat menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan nasional AS," tutur Podesta.

Melalui sebuah surat, sekitar sepuluh pemilih dari pihak Clinton yang berasal dari lima negara bagian sebelumnya telah meminta penjelasan kepada Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper mengenai penyelidikan mereka terkait potensi kongkalikong Rusia dan Trump pada proses pemilu AS, sebelum digelarnya electoral college.

Para pemilih bahkan meminta badan intelijen menjelaskan "semua temuan investigasi" mereka yang berhubungan dengan keterlibatan Rusia dalam pemilu 2016, meskipun pemaparan intelijen ini belum tentu dapat terlaksana menyusul tingkat kerahasian dan keamanan pekerjaan yang dimiliki lembaga intelijen tersebut.

"Kami membutuhkan pengarahan tentang seluruh temuan investigasi komunitas intelijen AS, karena hal ini secara langsung berdampak pada inti pembahasan yang akan kami bawa di Electoral College nanti mengenai pantas atau tidakah Trump menjadi presiden AS," ungkap para pemilih dalam sebuah surat seperti dikutip AFP.

Salah satu politikus dari negara bagian Rhode Island, Clay Pell, yang turut mendukung adanya pemaparan intelijen tersebut menilai bahwa sangat penting bagi para pemilih untuk memahami betul apa yang terjadi dalam pemilu kemarin sebelum mereka menentukan pilihan dalam Electoral College.

Electoral College dibentuk dengan dasar hukum yang tercantum dalam Pasal Dua Ayat Satu dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang mengatur soal pemilihan lembaga presiden di semua negara bagian setiap 4 tahun sekali. 

Pada pemilu presiden pada 8 November lalu, warga AS memang memilih capres unggulan mereka dalam pemilu. Namun sejatinya, hasil pemilu akan menentukan jumlah pemilih, atau disebut juga electors, yang akan maju lagi ke tahap terakhir, yaitu Electoral College.

Setiap negara bagian AS memiliki jumlah pemilih sesuai dengan jumlah populasi penduduk mereka.

Pada pemilu 8 November lalu, Trump berhasil mengejutkan publik AS dengan meraup 306 suara populer, jauh meninggalkan Clinton yang hanya berhasil meraih 232 suara. Trump berhasil mengungguli suara di 30 dari 50 negara bagian AS yang menghantarkannya menjadi presiden terpilih AS ke-45.





(ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER