Jakarta, CNN Indonesia -- Maraknya penggunaan media sosial untuk kepentingan politik, dinilai berpengaruh pada kemenangan seseorang dalam ajang pemilihan kepala negara.
Ahli Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menyebut kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat adalah contoh fenomena ini.
Dalam kemenangan Trump, menurut Airlangga, masyarakat terlihat tidak membutuhkan kebenaran dalam satu informasi. Justru, mereka lebih memilih informasi provokatif yang menekankan atau mengekploitasi sentimen emosi masyarakat tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemenangan Trump menunjukkan [adanya] tekanan pesan di media sosial dalam beberapa kasus, yang membuat masyarakat tidak mempertimbangkan kebenaran informasi. Ini jadi persoalan ketika berhadapan dengan
fake news [di medsos],” ujarnya saat diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).
Airlangga mencontohkan, salah satu kemenangan Trump di media sosial adalah ketika jutaan akun menyebarkan informasi untuk menyerang lawannya, Hillary Clinton.
Kemenangan Trump atas Clinton dalam media sosial, dikatakan Airlangga, karena fenomena
buzzer atau
spin doctor. Para buzzer bertugas untuk mempromosikan produk atau profil seseorang dan sebagai serangan balik atau
counter attack.Tugas utama buzzer, Airlangga mengatakan, untuk membelokkan isu-isu atau informasi yang sedang marak. Sehingga, informasi yang disajikan bernuansa provokatif.
"Pilpres di Amerika Serikat kemarin, Donald Trump lebih menekankan
Twitter dan media sosial untuk kepentingan politik, namun yang diutarakan justru provokatif dan mendorong kebencian," ujarnya.
Menurut Airlangga, masyarakat lebih menyerap hal provokatif dalam dunia media sosial. Selain itu, mereka juga bisa saling merespons satu sama lain, sehingga isu provokatif tersebut semakin cepat bergulir.
(aal/les)