Jakarta, CNN Indonesia -- Myanmar meminta digelarnya pertemuan darurat negara-negara ASEAN untuk membahas krisis Rohingya, menyusul gelombang kekerasan militer terhadap etnis minoritas Muslim itu di negara bagian Rakhine.
Myanmar, yang tegas membantah tuduhan soal penganiayaan dan pemerkosaan terhadap Rohingya pekan lalu mengkritik langkah Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang memimpin aksi unjuk rasa untuk mengecam Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, karena dinilai bungkam atas praktik "genosida" terhadap etnis Muslim di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha.
Sumber diplomatik di Filipina mengungkapkan kepada
AFP bahwa Myanmar telah mengundang mereka menghadiri pertemuan darurat ASEAN untuk membahas "masalah Rohingya".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumber tersebut menolak memberikan rincian lebih lanjut tentang pertemuan yang akan digelar pada 19 Desember mendatang, menurut laporan
Nikkei.
Gelombang kekerasan terhadap etnis Rohingya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Suu Kyi, peraih penghargaan Nobel Perdamaian yang posisinya kini berada di atas Presiden Htin Kyaw.
Pekan lalu, penasihat khusus PBB di Myanmar menilai pemerintah Naypyidaw memicu "kekecewaan internasional" atas penanganan krisis yang telah menyebabkan sekitar 30 ribu etnis Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Rakhine, sebagian besar dengan menyebrang ke Bangladesh.
Suu Kyi juga sudah bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi khusus untuk membahas masalah Rohingya, menyusul pembatalan kunjungan Suu Kyi ke Jakarta pada akhir November lalu.
Aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya memicu demonstrasi di sejumlah negara ASEAN yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia. Kedutaan besar Myanmar di Indonesia dilaporkan menjadi salah satu target penyerangan bom, berdasarkan pengakuan tersangka teroris yang berhasil diamankan polisi bulan lalu.
Isu mengenai kekerasan terhadap Rohingya di Myanmar kembali mencuat setelah insiden penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu. Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, meskipun belum ada bukti konkret.
Sejak penyerangan itu, militer Myanmar meningkatkan pengawasan ketat dengan melakukan "operasi pembersihan" di wilayah Rakhine. Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi buta.
Media milik pemerintah melaporkan bahwa hampir 100 orang tewas dalam operasi militer di Rakhine, termasuk 17 tentara dan 76 tersangka "teroris Rohingya", sejak Oktober lalu. Reuters melaporkan, setidaknya 86 nyawa melayang.
Global New Light of Myanmar melaporkan pada Sabtu (10/12), sekitar 575 tersangka serangan teror berhasil dicokok di Rakhine.
Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa di Rakhine juga dilaporkan hangus terbakar karena serangan militer.
Kekerasan sejak awal Oktober ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan Rohinya yang terjadi pada 2012 lalu. Insiden itu menewaskan ratusan orang.
Konflik ini pun menjadi tantangan bagi Suu Kyi yang pada tahun lalu memenangkan pemilihan umum dengan janji akan segera melakukan rekonsiliasi.
Lantaran krisis tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda, pemerintah Myanmar memperpanjang jam malam, yakni dari pukul 19.00 hingga 06.00 di seluruh wilayah yang sudah diisolasi selama dua bulan terakhir.
(ama)