Jakarta, CNN Indonesia -- Para pemilih dalam pemilihan kolase, atau Electoral College, diduga akan meresmikan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat selanjutnya, usai ia memenangi pilpres bulan lalu. Hal ini akan memuluskan jalan Trump menuju Gedung Putih menggantikan Barack Obama, meski kemenangannya diwarnai isu peretasan Rusia yang diduga mencoba mempengaruhi hasil pilpres AS.
Electoral College merupakan pemilihan umum yang akan meresmikan presiden dan wakil presiden AS. Pemilihan ini merupakan tahapan berikutnya dari pemilihan presiden yang digelar pada 8 November lalu. Skema pemilihan ini dibentuk dengan dasar hukum yang tercantum dalam Pasal Dua Ayat Satu dalam Konstitusi AS, yang mengatur soal pemilihan lembaga presiden di semua negara bagian setiap 4 tahun sekali.
Reuters memperkirakan hasil Electoral College tak akan mengubah hasil pilpres pada November lalu, yang menunjukkan Trump berhasil mengalahkan rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton melalui pengumpulan jumlah
electoral votes.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, jika dilihat dari pengumpulan suara populer (
popular votes) pada pilpres bulan lalu, Clinton unggul jauh dibanding Trump.
Mencuatnya tudingan soal peretasan Rusia yang berupaya memengaruhi hasil pilpres AS memicu kecurigaan bahwa Trump tidak memenangkan pilpres AS dengan adil, menurut para kader Demokrat.
Ketua tim kampanye Clinton, John Podesta pada Minggu (18/12), kembali mempertanyakan apakah tim kampanye Trump bekerja sama dengan Rusia untuk meluncurkan serangan peretasan.
Pada pemilu presiden pada 8 November lalu, warga AS memang memilih capres unggulan mereka dalam pemilu. Namun sejatinya, hasil pemilu akan menentukan jumlah pemilih (
electors) yang akan maju lagi ke tahap terakhir, yaitu Electoral College.
Electoral College akan digelar pada Senin (19/12) waktu setempat, dan diikuti oleh 538 pemilih di 50 negara bagian AS. Para pemilih (
electors) dipilih oleh kantor perwakilan kedua partai besar, Demokrat dan Republik, di masing-masing negara bagian.
Dengan mekanisme yang sudah diterapkan selama 200 tahun ini, sistem pemilu presiden di AS memang berbeda dengan di Indonesia, yang menerapkan sistem pemilu secara
one man one vote.Serupa dengan sistem pilpres pada November lalu, dalam Electoral College pasangan capres harus mengamankan 270 suara pemilih (
electoral votes) untuk menang. Dalam pilpres pada November lalu, Trump mengumpulkan 306
electoral votes dari 30 negara bagian.
Jika dalam tidak ada kandidat mencapai 270 electoral votes pada Electoral College, maka presiden akan secara resmi dipilih oleh parlemen AS, yang saat ini sebagian besar anggotanya merupakan kader Partai Republik.
Serangan siber dari peretas Rusia dilaporkan mulai terjadi bahkan sebelum pilpres digelar, termasuk meretas akun email para pejabat Komite Nasional Demokrat, membocorkan pidato berbayar Clinton kepada petinggi Wall Street dan perpecahan di kubu Demokrat soal skandal email Clinton, yang menggunakan server pribadi ketika ia menjabat sebagai menteri luar negeri AS.
Trump dan timnya menampik tudingan bahwa kemenangan mereka terkait dengan serangan siber dari Rusia. Trump menuding para kader Demokrat mencoba melemahkan legitimasi pemenang pilpres.
Tak hanya Trump, para pejabat Rusia juga membantah tuduhan ikut campur dalam pemilu AS.
(ama)