Jakarta, CNN Indonesia -- Duta Besar Kuba untuk Indonesia Nirsia Castro Guevara menyatakan bahwa upaya normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat masih harus melewati jalan panjang meskipun kedua negara telah memutuskan untuk berhenti bermusuhan sejak 2014 lalu.
Nirsia menuturkan, masih ada beberapa isu yang harus diselesaikan kedua negara sebelum AS dan Kuba dapat membangun hubungan bilateral secara komperhensif.
"Salah satunya blokade perdagangan dan finansial yang diterapkan AS pada Kuba. Langkah ini harus dihentikan AS sebelum menjalin hubungan bilateral secara normal dengan Kuba," ungkap Nirsia ketika ditemui usai memperingati acara Hari Revolusi Kuba ke-58 di Kantor Kedutaan Besar Kuba di Jakarta, Senin (19/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain sanksi ekonomi, Nirsia mengatakan AS juga harus menyerahkan kembali salah satu teriotori Kuba di Teluk Guantanamo yang dianggap telah dicaplok secara ilegal oleh Amerika.
Pencaplokan ini dianggap Kuba sebagai salah satu ganjalan normalisasi hubungan kedua negara karena AS sampai saat ini belum menunjukan niatnya untuk mengembalikan wilayah yang diklaim Kuba tersebut.
"Kedua isu itu menjadi harus bisa diselesaikan sebelum bisa menormalkan hubungan bilateral AS dan Kuba," kata Nirsia.
Mencairnya hubungan AS dan Kuba Multi dirintis sejak Desember 2014. Saat itu Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro berjanji menormalisasi hubungan diplomatik yang terputus sejak 1961.
Namun, adanya transisi kepemerintahan baru AS belakangan ini bisa menjadi tantangan baru dalam prospek normalisasi hubungan kedua negara. Pasalnya, presiden AS terpilih Donald Trump, yang berhasil memenangi pemilu 8 November lalu, mengancam akan menghentikan "kesepakatan" antara Washington dengan Havana, kecuali Kuba membuat kesepakatan yang lebih baik.
Pernyataan ini dilontarkan konglomerat real estate itu hanya tiga hari usai pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro, wafat di usia 90 pada akhir November lalu.
Komentar Trump ini digadang-gadang bisa mengerutkan upaya normalisasi hubungan antara kedua negara yang telah menjadi rival Perang Dingin selama lebih dari lima dekade ini.
Nirsia mengatakan, ada kekhawatiran dibenak warga Kuba jika pernyataan presiden baru AS itu akan merusak hubungan perdagangan dan wisata antar kedua negara, yang sudah mulai menggeliat sejak dibukanya kembali hubungan diplomatik dalam dua tahun terakhir.
"Kami harus melihat bagaimana presiden baru AS [Trump] menempatkan kebijakannya dalam hal normalisasi hubungan antar kedua negara. Jika presiden baru AS memiliki pendirian yang positif [mengenai normalisasi], pemerintah Kuba Siam bekerja sama dengan AS untuk mengembangkan normalisasi hubungan diplomatik ini," ungkap Nirsia.
(rds/ama)