Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman menyebut kekerasan militer yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, dapat mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Ia juga menyebut gelombang kekerasan terhadap etnis paling teraniaya di dunia itu sebagai bencana kemanusiaan.
"Saya yakin kita semua di sini tidak mau mengulangi krisis yang sama seperti tahun lalu dan dapat berpengaruh pada stabilitas keamanan di kawasan," ungkap Anifah dalam pertemuan antar menteri luar negeri negara-negara ASEAN di Yangon pada Senin (19/12).
"Konflik [Rohingya] ini menjadi keprihatinan kawasan dan harus diselesaikan secara bersama-sama," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anifah mendesak Myanmar untuk segera menyelesaikan konflik di Rakhine guna menghindari bencana kemanusiaan kembali terjadi. Pasalnya serangkaian kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim di negara itu bukan hal baru.
Kekerasan terhadap etnis Rohingya yang terparah pernah terjadi pada 2012 lalu menyebabkan setidaknya 200 orang tewas dan menimbulkan gelombang pengungsi mendatangi sejumlah negara di kawasan.
Pada 2015 lalu, Malaysia mengklaim telah
menampung 120 ribu imigran gelap dari Myanmar. Badan Pengungsi PBB, UNHCR memperkirakan 25 ribu etnis Rohingya nekat mengarungi lautan dengan kapal dalam tiga bulan pertama pada tahun lalu.
Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding total imigran ilegal pada periode yang sama pada 2014. Pertemuan antar menlu negara ASEAN pada Senin diselenggarakan khusus membahas isu Rohingya. Pertemuan yang sangat jarang terjadi antar negara ASEAN ini diselenggarakan guna menanggapi sejumlah laporan dari lembaga pemerhati HAM terkait indikasi kekerasan dari militer Myanmar secara membabi-buta terhadap etnis Rohingya.
Malaysia, sebagai salah satu negara Muslim di kawasan ASEAN meluncurkan sejumlah protes keras terhadap pemerintah Myanmar yang dianggap telah membiarkan aksi "pembersihan etnis" Rohingya terjadi di negara itu.
Kecaman serupa juga diluncurkan oleh kelompok pemerhati HAM, Amnesty Internasional, yang menyebut militer Myanmar telah melakukan "kejahatan kemanusiaan."
Kejahatan KemanusiaanMenurut Direktur Amnesty International Asia Tenggara dan Pasifik Rafendi Djamin, militer Myanamar telah menargetkan warga sipil Rohingya dalam penyerangan sistematis.
Lembaga ini telah menyusun laporan mereka berdasarkan analisis citra satelit, foto, dan video yang dilengkapi dengan sejumlah wawancara ekstensif dengan beberapa etnis Rohingya di Myanmar dan Bangladesh.
"Pria, wanita, anak-anak, dan seluruh keluarga di desa [Rohingya] telah diserang dan dilecehkan sebagai bentuk hukuman kolektif," kata Djamin dalam laporan yang dirilis pada Senin.
Sejak penyerangan pos polisi perbatasan oleh sekelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu, militer Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, meski tanpa didasari bukti jelas.
Pasca penyerangan, militer Myanmar melakukan pengamanan ketat dengan di wilayah Rakhine dengan menggelar "operasi pembersihan."Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer Myanmar dituding menyerang dan melakukan kekerasan kepada etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan 86 orang serta 30 ribu lainnya melarikan diri dari Rakhine.
Dalam undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, Myanmar secara konstitusi telah mengucilkan etnis Rohingya. Rohingya tidak termasuk dalam 130 etnis yang diakui dalam konstitusi Myanmar.
Tak hanya Amnesty International, PBB juga mengutuk kegagagalan pemerintah Myanmar dalam menangani krisis kemanusiaan ini.
"Pengulangan pelanggaran HAM serius sebagai fabrikasi ditambah dengan kegagalan untuk mengizinkan kami sebagai pemantau independen masuk ke wilayah konflik di Rakhine utara menggambarkan lepasnya tanggung jawab pemerintah pada hukum HAM internasional," tutur Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein.
Sementara itu, kepada
CNN, juru bicara pemerintah Myanmar Aye Aye Soe menyebut laporan Amnesty International itu sebagai "berita palsu" dan "kampanye disinformasi."
Soe mengungkapkan, laporan pelanggaran HAM itu menyebarkan hasutan ekstremis dan kebencian yang memicu protes internasional dan menganggu penyelesaiaan konflik di Rakhine.
Pemerintah Myanmar mengklaim telah mengambil inisiatif untuk mengatasi isu Rohingya, termasuk memproses verifikasi kewarganegaraan bagi etnis Rohingya di negara itu.
"Sayang sekali organisasi seperti Amensty International mendasari laporannya dan membuat kesimpulan berdasarkan dugaan tanpa dasar dan substansi yang diambil dari informasi media yang belum tentu benar," kata Soe melalui pernyataan tertulis.
Soe menuduh organisasi itu tidak menimbang berbagai kemajuan dan inisiatif pemerintah Myanmar terbaru dalam laporannya.
"Semua pihak patut memberikan pemerintah Myanmar ruang politik dan waktu untuk membiarkan kami menjalankan inisiatif menyelesaikan masalah, bukannya bersekongkol menyulut api dan memperumit konflik," ujar Soe.
(ama)