Operasi Militer Myanmar ke Rohingya Disebut Sesuai Hukum

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Rabu, 14 Des 2016 20:22 WIB
Laporan Komisi penyelidik situasi di Rakhine bertolak belakang dengan temuan Badan PBB untuk Koordinasi Hubungan Kemanusiaan (UNOCHA).
Laporan Komisi penyelidik situasi di Rakhine bertolak belakang dengan temuan Badan PBB untuk Koordinasi Hubungan Kemanusiaan (UNOCHA). (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi penyelidik situasi di Rakhine menyatakan bahwa operasi militer Myanmar terhadap kaum minoritas Rohingya di negara bagian itu sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

"Otoritas pemerintah mengikuti aturan hukum dan mengambil tindakan secara legal dalam respons mereka terhadap para penyerang," demikian bunyi laporan panel penyelidik tersebut, sebagaimana dikutip Reuters, Rabu (14/12).

Laporan itu disampaikan setelah panel tersebut melakukan kunjungan selama tiga hari ke Desa Maungdaw, Rakhine, yang disebut-sebut sebagai pusat konflik selama beberapa bulan belakangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Panel itu dibentuk khusus oleh Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, untuk menyelidiki situasi di Rakhine yang dilaporkan memanas setelah insiden penyerangan pos polisi oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu.

Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu. Namun, belum ada bukti konkret atas tuduhan tersebut.

Selain membunuh kaum minoritas Muslim tersebut, militer Myanmar juga dilaporkan kerap melakukan pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya. Namun menurut panel ini, tak ada laporan mengenai pemerkosaan ketika mereka berkunjung ke lokasi.

"Militer mengatakan bahwa [mereka] tidak memerkosa perempuan seperti yang dideskripsikan dalam berbagai pemberitaan. Mereka mengaku patuh pada hukum," tulis panel tersebut.

Laporan ini menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak mengenai kredibilitas panel yang dipimpin oleh Wakil Presiden Myanmar, Myint Swe, dan mantan pemimpin junta militer, Than Shwe, tersebut.

Pasalnya, laporan mereka bertolak belakang dengan temuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Hubungan Kemanusiaan (UNOCHA).

Kini, mereka kesulitan mengakses Rakhine sehingga bantuan yang ditujukan kepada 150 ribu orang hanya bisa diterima oleh 20 ribu orang Rohingya. Pers internasional juga tak dapat memasuki kawasan tersebut.

Media milik pemerintah Myanmar sebelumnya melaporkan bahwa hampir 100 orang tewas dalam operasi militer di Rakhine, termasuk 17 tentara dan 76 tersangka "teroris Rohingya", sejak Oktober lalu.

Sementara itu, Reuters melaporkan setidaknya 86 nyawa melayang. Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa di Rakhine juga dilaporkan hangus terbakar karena serangan militer.


Kekerasan yang terjadi sejak awal Oktober ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan Rohingya yang terjadi pada 2012 lalu. Insiden itu menewaskan ratusan orang.

Gelombang kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya menjadi tantangan bagi Suu Kyi yang pada tahun lalu memenangkan pemilihan umum dengan janji akan segera melakukan rekonsiliasi.

Lantaran krisis tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda, pemerintah Myanmar memperpanjang jam malam, yakni dari pukul 19.00 hingga 06.00 di seluruh wilayah yang sudah diisolasi selama dua bulan terakhir. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER