Jakarta, CNN Indonesia -- Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memulai penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar, termasuk kekerasan yang dilakukan aparat militer terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.
Pelapor khusus PBB, Yanghee Lee, akan memulai kunjungannya pada Senin pekan depan. Selama 12 hari, ia akan pergi ke sejumlah wilayah yang dikabarkan menjadi lokasi di mana kekerasan dilaporkan marak terjadi, seperti negara bagian Rakhine dan Kachin.
"Kekerasan tidak dapat diterima dan saya menyerukan penyelidikan tentang dugaan penyiksaan bahkan pembunuhan dan pemerkosaan yang telah dilakukan tentara pada kaum Muslim minoritas di Myanmar," ujar Lee melalui sebuah pernyataan seperti dikutip
AFP, Jumat (6/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lee sudah beberapa kali ke Myanmar. Terakhir kali ke Myanmar, ia mendapat sejumlah ancaman dan protes dari warga lantaran kritiknya atas perlakuan warga Myanmar pada kaum Rohingya.
Biksu Buddha garis keras, Wirathu, bahkan menyebut Lee sebagai "pelacur" karena mengkritisi konstitusi Myanmar yang dianggap diskriminatif.
Etnis minoritas Muslim di Myanmar, khususnya Rohingya, selama ini menderita karena diskriminasi. Beberapa bulan belakangan, Rohingya kembali kembali menjadi sorotan akibat kekerasan dan sikap represif aparat pemerintah kepada mereka.
Rangkaian kekerasan ini bermula dari penyerangan pos polisi perbatasan di Rakhine pada 9 Oktober lalu. Militer menuding "teroris Rohingya" bertanggung jawab atas serangan itu, meski tidak ada bukti jelas.
Alih-alih menangkap pelaku, militer Myanmar diduga malah menyerang kaum Rohingya hingga menewaskan sekitar 86 orang dan menyebabkan ribuan lainnya melarikan diri keluar Myanmar.
Kekerasan terhadap etnis Muslim di Myanmar ini bukan yang pertama kali terjadi. Kekerasan sektarian terparah terhadap warga Rohingya dilakukan oleh kelompok Buddha pada 2012 lalu. Insiden ini menewaskan sekitar 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Krisis kemanusiaan ini melemahkan posisi pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang berjanji ingin membawa perdamaian ke negara itu saat terpilih dalam pemilu tahun lalu.
Pemenang Nobel perdamaian ini pun mendapat kecaman internasional lantaran dianggap gagal melindungi etnis Rohingya dari kekerasan.
"Beberapa bulan terakhir menunjukan bahwa masyarakat internasional perlu mewaspadai dan memantau situasi HAM di Myanmar. Terlepas dari eskalasi pertempuran di Kachin dan Shan, [kondisi ini] menyebabkan keresahan mengenai arah pemerintah baru negara itu," katanya.
(stu/stu)