Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Barack Obama menyiratkan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Yerusalem bisa menimbulkan dampak 'eksplosif' dan memperburuk prospek solusi damai dua-negara untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Donald Trump yang akan dilantik menggantikan Obama, Jumat besok (20/1), sebelumnya sempat berjanji untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Tindakan ini menyimpang dari kebijakan yang telah lama dipegang oleh AS.
"Ketika gerakan unilateral yang menyinggung isu-isu utama dan sensitivitas kedua negara dilakukan, hasilnya bisa eksplosif," kata Obama dalam konferensi pers terakhirnya sebagai presiden, sebagaimana dikutip
Reuters, Kamis (19/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan pemerintahnya telah memperingatkan Trump bahwa perubahan kebijakan besar mempunyai konsekuensi tersendiri.
"Itu adalah sebagian hal yang telah kami coba tunjukkan pada pemerintah yang akan datang dalam masa transisi. Perhatikan hal ini karena ini adalah masalah yang volatil," kata Obama ketika ditanya soal potensi pemindahan kedutaan besar tersebut.
Obama telah berulang kali mengatakan pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah hambatan bagi solusi damai dua-negara, yang diyakini AS sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik berdekade antara Israel dan Palestina.
Dia mengatakan pemerintahannya tidak memveto resolusi PBB yang mengecam permukiman Israel karena merasa solusi dua-negara adalah satu-satunya opsi untuk menuju perdamaian.
"Tujuan resolusi itu hanya untuk menyatakan bahwa pertumbuhan permukiman itu membuat keadaan di lapangan tidak memungkinkan tercapainya solusi dua-negara," kata Obama.
"Penting bagi kami untuk mengirim sinyal, panggilan untuk menyadarkan bahwa momen ini bisa berlalu."
Israel menilai kebijakan Amerika Serikat untuk menyatakan Abstrain, alih-alih memveto resolusi tersebut, "memalukan." Langkah AS, dan pernyataan keras Menteri Luar Negeri John Kerry soal masalah tersebut, mempertegang hubungan antara pemerintahan Obama dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.