Jakarta, CNN Indonesia -- Dua pejabat senior PBB yang terlibat menangani pengungsi di Myanmar memperkirakan lebih dari seribu kaum minoritas Muslim Rohingya tewas dalam kekerasan yang dilakukan aparat negara. Jumlah korban ini jauh lebih banyak dari yang selama ini dilaporkan pemerintah.
"Selama ini berbagai laporan memperkirakan ratusan yang tewas. Ini mungkin dikecilkan, padahal bisa jadi jumlah korban [Rohingya] ini sebenarnya mencapai ribuan," ungkap salah seorang pejabat PBB yang enggan disebut namanya, seperti dikutip
Reuters, Kamis (9/2).
Diwawancarai di tempat terpisah, keduanya mendasari perkiraannya tersebut dari beberapa testimoni dan bukti yang didapat dari para pengungsi. Kedua pejabat tersebut bekerja pada lembaga PBB yang berbeda di Bangladesh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keduanya mengaku telah mengumpulkan bukti-bukti itu selama empat bulan terakhir, tepatnya sekitar Oktober lalu saat kekerasan terhadap kaum Rohingya kembali mencuat di Myanmar.
Setidaknya 70 ribu kaum Rohingya telah melarikan diri keluar Myanmar sejak bentrokan awal Oktober lalu terjadi.
Dua pejabat itu khawatir dunia internasional tidak cukup memahami parahnya krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung di Myanmar, khususnya negara bagian Rakhine.
Pengakuan dua pejabat itu seakan menguatkan laporan komisi HAM PBB (UNHCHR) yang dirilis pada Jumat (3/2) lalu.
Laporan itu memaparkan, militer Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Rohingya sejak Oktober lalu.
PBB juga menyebutkan, militer Myanmar membakar rumah-rumah kaum Rohingya hingga rata dengan tanah. Sejak saat itu, setidaknya 69 ribu orang Rohingya kabur ke Bangladesh.
Laporan tersebut turut didukung sejumlah bukti konkret seperti luka-luka peluru atau pisau yang diderita para pengungsi dan gambar citra satelit yang menunjukan penghancuran desa secara sengaja.
Pihak UNHCHR turut mewawancarai setidaknya 220 pengungsi Rohingya, yang sebagian besar dari mereka mengetahui jumlah kerabatnya yang telah dibunuh atau menghilang.
PBB bahkan memperkirakan bahwa kejadian ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski begitu, pejabat PBB yang lainnya menuturkan, laporan UNHCHR ini hanya sebagian kecil dan belum sepenuhnya "mengungkap" kengerian yang diderita kaum Rohingya di negara tersebut.
Selama ini, penyelidikan independen untuk memverifikasi dugaan pelanggaran HAM ini sangat sulit dilakukan, lantaran aparat dan militer di sana telah memperketat pengamanan dan akses ke wilayah Rakhine.
 Protes atas kekerasan terhadap Rohingya juga terjadi di Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Menanggapi perkiraan PBB ini, Juru Bicara Presiden Myanmar, Zaw Htay mengatakan, jumlah korban tewas yang diasumsikan PBB jauh berbeda dengan yang didapat pemerintahnya.
Htay mengklaim, jumlah korban tewas dalam bentrokan di perbatasan Rakhine pada awal Oktober lalu hanya berjumlah 100 orang. Angka ini didapatnya dari laporan terbaru militer Myanmar.
Padahal, "bentrokan" antara aparat dan kaum Rohingya itu dilaporkan tak hanya sekali saja terjadi pada bulan itu.
"Jumlah korban tewas memang bisa mencapai 1.000, seperti yang diperkirakan PBB. Tapi jumlah ini sangat jauh dari angka yang kami dapat. Kami harus memeriksa jumlah korban secara jelas ke lapangan," ujar Htay.
Selama ini, pemerintah terus membantah dugaan pelanggaran HAM dan diskriminasi yang dilakukan aparatnya terhadap minoritas Muslim seperti kaum Rohingya.
Walaupun begitu, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi baru-baru ini telah berjanji akan memulai penyelidikan dugaan pelanggaran HAM di negaranya tersebut.
(aal)