Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat global kembali dikejutkan langkah kontroversial Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris soal Perubahan Iklim. Langkah yang dikecam sekutu dan perusahaan-perusahaan besar dunia ini bisa jadi membuat target pendinginan suhu dunia nyaris mustahil.
Dalam pernyataannya di Gedung Putih pada Kamis (1/6), Trump menyebut perjanjian itu merugikan perekonomian dan melemahkan kedaulatan AS. Dia hanya akan mempertimbangkan untuk kembali masuk dalam perjanjian itu, “dengan syarat yang adil bagi AS, juga bagi bisnisnya, pekerjanya, rakyatnya, dan semua pembayar pajaknya." katanya.
Merespons keputusan AS ini, Uni Eropa dan China menegaskan dunia bahwa implementasi perjanjian tersebut akan jalan terus. Beijing—negara dengan emisi gas karbon terbesar di dunia—bersumpah tetap menegakkan kesepakatan iklim ini karena “tanggung jawab yang dipikul China sebagai negara besar bertanggung jawab.”
Dalam perjanjian tersebut, sejumlah negara, termasuk AS, menetapkan target pengurangan emisi untuk 2025 mendatang. Sementara negara lainnya berniat mencapai pengurangan target emisi negaranya pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komitmen negara ini akan ditinjau dan diperbaharui setiap lima tahun mulai 2018.
Sejauh ini, negara-negara maju dilaporkan telah mengeluarkan sedikitnya US$100 miliar untuk mendukung implementasi kesepakatan ini, termasuk bantuan pada negara berkembang untuk beralih ke sumber energi baru terbarukan yang lebih mahal dari energi fosil.
Di tangan Presiden Barack Obama, Washington pun berjanji untuk menggelontorkan US$3 miliar untuk pendanaan Green Climate. Namun, Trump menyatakan tak akan lagi memenuhi komitmen tersebut.
Tanpa AS, yang meratifikasi Perjanjian Paris pada September 2016 di bawah Obama, kesepakatan iklim ini akan terus berjalan karena jumlah emisi negara yang meratifikasi masih mewakili 55 persen total gas karbon global.
Namun, keluarnya Washington dari pakta perubahan iklim ini akan memperlambat pencapaian target karena AS merupakan produsen gas emisi terbesar kedua di dunia. Selama 2015, AS mengeluarkan sedikitnya 5,1 juta kiloton karbon dioksida ke udara, setara dengan total pengeluaran gas karbon 28 negara Uni Eropa.
Sejumlah ilmuwan bahkan menganggap, meski kesepakatan Perubahan Iklim ini berhasil berjalan sesuai rencana, menekan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius bakal sulit tercapai.
Sebuah studi dalam Nature Climate Change journal yang rilis pada Desember 2016 menjelaskan hambatan atas kontribusi AS dalam perjanjian ini akan membuat target Perjanjian Paris “tidak bisa dijangkau.”
 Protes soal perubahan iklim sudah merebak di berbagai penjuru dunia dan Trump malah mengambil langkah yang memperburuk suasana. (REUTERS/Eduardo Munoz) |
Diberitakan
CNN, analis dari tim Climate Interactive memaparkan suhu global dapat meningkat hingga 0,3 derajat setelah AS keluar dari perjanjian dan tidak melakukan apapun dalam menanggulangi perubahan iklim.
Sebagian besar ahli perubahan iklim dan lingkungan bahkan mengatakan, jika manusia tak bisa menghentikan peningkatan suhu global ini, pemanasan global bisa menyebabkan air laut membanjiri kota-kota pesisir, kepunahan massal, kekeringan masif, krisis migrasi hingga potensi bencana lainnya.
Dinginkan BumiPerjanjian Iklim bermula pada 12 Desember 2015 silam saat 195 negara, termasuk Indonesia, berkumpul di Paris, Perancis, untuk merampungkan pakta iklim universal petama yang kini dikenal sebagai Perjanjian Paris atau COP21.
Pakta yang memiliki tujuan utama mencegah dampak dan skenario terburuk pemanasan global itu mulai berlaku pada 4 November 2016 setelah 147 negara anggota yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global meratifikasinya.
Dalam perjanjian itu, negara anggota sepakat memperlambat peningkatan suhu temperatur global sehingga tak melebihi 2 derajat celcius di atas tingkat pra-industri pada tahun 2100 mendatang. Dalam kesepakatan itu, negara peratifikasi juga berkomitmen mengurangi pengeluaran emisi gas negaranya sebesar 26-28% dalam satu dekade ke depan.
Negara-negara maju yang biasanya memiliki tingkat emisi gas karbon besar diwajibkan memaksimalkan upaya pengurangan emisi secara mutlak. Sebab, sejumlah pengamat dan ilmuwan iklim mengatakan perlambatan pemanasan global ini baru bisa tercapai jika negara-negara dengan pengeluaran emisi terbesar berkontribusi penuh dan maksimal.
Sementara sejumlah negara berkembang lainnya—yang pada umumnya masih bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi dalam menggerakan ekonominya—didorong untuk “secara bertahap meningkatkan kontribusinya mengurangi pengeluaran emisi nasional.”
Salah satu caranya dengan mulai menggantungkan ketahanan energi nasional pada energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan.