Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap Ramadan tiba, kaum muslim di Indonesia terbiasa dengan jalan-jalan yang menjadi ramai di sore hari dengan adanya pasar tumpah yang menjual aneka hidangan berbuka puasa. Sementara, televisi dibanjiri acara-acara bertema Islami. Namun tidak demikian halnya dengan Jerman.
Negara dengan ekonomi terkuat di Eropa tersebut memiliki populasi Muslim yang cukup besar. Data terakhir menunjukkan sekitar 3,5 juta Muslim tinggal di Jerman, dengan 80 persen merupakan pendatang. Hal itu menjadikan Jerman sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar ke-dua di Eropa Barat, setelah Perancis.
Meskipun angka pemeluk agama Islam cukup tinggi, Muslim merupakan minoritas di Jerman. Ramadan pun jadi tantangan tersendiri, terlebih durasi berpuasa di negara empat musim tersebut cukup panjang, yakni nyaris 19 jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu diungkapkan Suminem, mahasiswa asal Klaten yang kini sedang menempuh pendidikan Ilmu Politik di Universitat Goethe di Frankfurt.
Dia mengungkapkan, selain durasi berpuasa yang lebih panjang, hal yang paling berbeda adalah suasana sehari-hari selama Ramadan di Jerman.
“Disini tidak ada orang berjualan takjil,” ujarnya, kepada
CNNIndonesia.com, sembari tertawa.
Sementara, suasana lainnya tidak jauh berbeda dengan hari biasanya. “Ramadan sama saja dengan hari biasa, semua beraktivitas seperti biasa, semua restoran buka di siang hari,” katanya.
Namun, setelah enam tahun tinggal di Jerman membuat Suminem terbiasa dengan absennya suasana Ramadan yang kental seperti di Indonesia.
Sementara, Hayyar, salah seorang pengungsi asal Suriah yang beberapa bulan lalu tiba di Bonn, mengungkapkan Ramadan kali ini sangat berbeda.
Perbedaan utama yang dirasakan Hayyar adalah suasana damai, tanpa letusan senjata api, deru pesawat tempur ataupun dentuman bom. Selain itu, cuaca yang tidak terlalu panas membuat Hayyar dan keluarganya bisa menjalani puasa dengan lebih ringan.
“Disini tidak terlalu panas seperti di Damaskus, yang suhu di saat Ramadan tahun lalu bisa mencapai lebih dari 40 derajat Celsius. Meskipun puasa disini lebih lama, dengan suhu paling tinggi 20 derajat, puasa bagi saya tidak terlalu berat,” tuturnya.
Puasa Berhadiah CokelatMeskipun 80 persen kaum Muslim adalah pendatang, terdapat sekitar 600 ribu warga negara Jerman yang memeluk agama Islam, dengan 100 ribu diantaranya merupakan mualaf.
Bagi komunitas ini, ada sebuah tradisi unik yang dilakukan orang tua guna mendidik anak-anak mereka berpuasa. Caranya dengan ‘hadiah’ kurma berlapis cokelat.
Kurma tersebut diletakkan di dalam kotak kalender, mirip dengan kalender advent. Setiap kotak bertanggal mulai hari pertama Ramadan hingga Idul Fitri. Jika sang anak berhasil menjalankan puasa sehari penuh, maka dia berhak mendapatkan kurma tersebut.
 Kleinmarkthalle, salah satu pasar tradisional di Frankfurt yang menyediakan kudapan berbuka puasa, seperti kue-kue manis dan olahan kurma. (Foto: Dok. Dimas Faro for CNNIndonesia.com) |
Tradisi lainnya adalah Kleinmarkthalle, salah satu pasar tradisional di Frankfurt yang menyediakan kudapan berbuka puasa, seperti kue-kue manis serta berbagai macam olahan berbahan dasar kurma.
Berbeda dengan warga Indonesia yang menyantap kurma dalam bentuk buah yang dikeringkan, di Jerman kurma disulap jadi beragam kudapan, seperti makrout. Ada juga aneka kurma yang disisipi bermacam-macam isian, mulai kacang hingga krim jeruk.
Kegiatan Ramadan di Jerman umumnya berpusat di masjid, tidak terkecuali Masjid Indonesia Frankfurt yang kerap menggelar buka puasa bersama.
Namun, hal yang menarik dicermati adalah menu buka puasa di masjid Jerman. Setelah berbuka dengan kurma dan segelas teh hangat, kegiatan di masjid dilanjutkan dengan ibadah salat Maghrib berjamaah. Lalu, pengunjung masjid akan disajikan Harira, sup khas Maroko yang terbuat dari kacang-kacangan dan dikombinasikan dengan daging kambing atau sapi.
Sementara menu makan malam terdiri dari berbagai makanan khas Timur Tengah sperti Sellou (kue-kue kecil terbuat dari wijen dan kacang almond) serta Msemen, semacam pancake, yang kemudian disajikan dengan madu atau diisi dengan kefta atau daging giling.
Tak hanya di masjid, buka puasa bersama di Jerman juga diadakan oleh pemerintah kota. Di Heidelberg misalnya. Pekan ini, buka puasa bersama salah satunya diadakan oleh EVA, sebuah lembaga non-profit.
Lebih dari 200 orang, 50 diantaranya pengungsi, yang berasal dari berbagai negara berkumpul dan menikmati sajian berbuka puasa.
Sementara di Cologne, acara buka puasa bersama diadakan oleh Palang Merah Jerman atau Deutsches Rotes Kreuz (DRK). Adapun di Marburg ada Ramadanzelt atau Tenda Ramadhan, dimana setiap orang diperbolehkan mengikuti acara buka puasa, termasuk mereka yang tidak berpuasa. Diramaikan dengan bazar, acara ini menjadi salah satu yang paling menarik perhatian, khususnya bagi para mahasiswa dari luar kota.