Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa pintu Uni Eropa selalu terbuka bagi Inggris. Namun ‘keterbukaan’ blok Eropa itu datang dengan syarat, yakni hanya selama negoisasi Brexit belum selesai.
“Tentu saja pintu masih terbuka [bagi Inggris] selama negoisasi Brexit belum selesai,” kata Macron dalam sebuah konferensi pers, dikutip
AFP, Rabu (14/6).
Meskipun begitu, Macron juga menekankan langkah yang telah diambil Inggris untuk meninggalkan organisasi beranggotakan 28 negara itu, tahun lalu, tidak bisa ditarik kembali. Namun, negoisasi Brexit bisa menjadi tonggak baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ketika proses Brexit sudah dimulai, maka jelas bahwa tidak mungkin lagi melangkah mundur,” sebut Macron di Istana Elysee.
Di sisi lain, Perdana Menteri Inggris Theresa May menegaskan bahwa dia akan terus berpegang pada jadwal negoisasi Brexit yang akan dimulai pekan depan di Brussels. Dia menambahkan diskusi itu tetap ‘pada jalurnya’ kendati ada banyak kendala domestik.
Partai Konservatif yang merupakan pendukung utama May, kalah dalam pemilu kilat pekan lalu. Pengamat menyebut hal itu kemungkinan besar membuat May harus meninggalkan rencananya segera menetapkan Brexit.
Komentar Macron, soal ‘pintu terbuka’ bagi Inggris bisa menjadi celah bagi minoritas warga negara monarki itu, melakukan dorongan pada pemerintah untuk tetap bersama Uni Eropa.
Namun, tentu saja, membalik keputusan soal Brexit yang bersejarah tahun lalu, akan membutuhkan referendum lainnya.
Meskipun demikian, May tetap optimistis bahwa seluruh warga Inggris menginginkan Brexit tetap terjadi.
“Ada tujuan bersama di antara seluruh rakyat Inggris, mereka sudah memilih meninggalkan Uni Eropa dan itu yang dijamin oleh pemerintah,” tegas May.
Kendati masih berbeda pandangan soal Brexit, Macron dan May sepakat soal usaha bersama membasmi ekstremisme, terorisme serta propaganda online. Keduanya juga sepakat bahwa perusahaan internet dan media sosial tidak memberikan upaya terbaik dalam mencegah hal itu.
Kedua kepala negara itu juga setuju menjadikan internet sebagai ruang publik yang bebas dari propaganda. Inggris dan Perancis akan bersama-sama “memastikan internet tidak lagi dianggap sebagai tempat aman bagi penjahat dan teroris guna menyebarkan materi radikalisme yang mengakibatkan banyak kerusakan.”
Prioritas kedua negara dalam memastikan hal itu adalah mencari platform komunikasi terenkrispsi milik ekstremis yang selama ini kerap tersembunyi dari pasukan keamanan, serta menetapkan hukum baru bagi perusahaan internet yang menolak menghapus konten ofensif.
Adapun sebelumnya, anggota parlemen Jerman telah mengusulkan rancangan undang-undang yang meminta perusahaan internet menghapus konten yang mengandung ujaran kebencian dalam kurun waktu 24 jam.
Di sisi lain,
Facebook, Twitter dan jejaring media sosial lain terus berargumentasi bahwa mereka tidak bisa memonitor konten yang diunggah netizen.