Jakarta, CNN Indonesia -- Kekerasan militer yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai "pembersihan etnis" minoritas Muslim Rohingya di Myanmar mengundang keprihatinan masyarakat internasional. Namun, di saat yang sama, kelompok teror seperti ISIS dan al-Qaidah pun boleh jadi meliriknya sebagai ladang baru setelah pengaruhnya melemah di Timur Tengah.
Al-Qaidah sempat menjadi kelompok militan yang mempunyai pengaruh terbesar di kawasan tersebut. Hal itu berlangsung lama, setidaknya hingga ISIS, dan pasukannya yang lebih sadis, mulai berkembang dari embrio yang sama dan menepikan saudara tuanya itu, sejak 2014 lalu.
ISIS sempat menguasai wilayah yang besar di Suriah dan Irak dan hal itu, selain membuat pengaruh al-Qaidah melemah, juga membuat para militannya tergoda untuk membelot ke kelompok teror baru. Al-Qaidah secara formal tidak mau mendukung ISIS karena kelompok itu dinilai terlalu sadis, bahkan bagi para militan yang diyakini membunuh 3.000-an orang dalam serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kini pengaruh ISIS juga semakin melemah setelah pasukan pemerintah Suriah dan Irak yang dibantu negara-negara besar dunia mulai berhasil mendesak mereka. Sejumlah kota besar dan wilayah kunci di kedua negara sudah dikuasai kembali dan militan sadis pendatang baru itu pun mulai tumbang.
Dampaknya, ISIS mulai memulangkan para pejuang teroris asing atau foreign terrorist fighters (FTF) yang mendukungnya ke negara asal untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Selain itu, mereka juga menyerukan kepada para simpatisan di luar negeri untuk melaksanakan aksi teror di negara masing-masing.
Salah satunya adalah militan Maute di Filipina yang setelah tiga bulan ini masih menguasai Marawi. Aksi kelompok yang berbaiat kepada ISIS itu dikhawatirkan bisa menjadi cikal bakal pembentukan wilayah kekuasaan baru di Asia Tenggara. Kekhawatiran yang sama sempat terjadi di Indonesia saat Santoso dan kelompok Mujahidin Indonesia Timur bersarang di Poso, Sulawesi Tengah.
Kini, krisis kemanusiaan di Myanmar telah terbukti menarik perhatian kelompok teror asal Timur Tengah, setidaknya al-Qaidah. Mereka telah secara terbuka meminta dukungan dan mengancam akan memberikan hukuman atas "kejahatan" yang dilakukan terhadap etnis minoritas tersebut.
Meski ISIS belum memberikan pernyataan menantang yang sama, Center for Strategic and International Studies (CSIS) khawatir ancaman yang sama bisa datang dari militan yang lebih sadis itu.
[Gambas:Video CNN]"Ada kekhawatiran bahwa kekerasan ini akan menarik kekuatan dari luar. Kini, saat ribuan foreign fighters terafiliasi ISIS yang berpengalaman perang mencari misi baru di luar wilayah mereka yang terus menciut di Suriah dan Irak, kesempatan baru untuk membela Muslim [di Myanmar] akan menarik mereka," kata Thomas Sanderson, direktur Transnational Threats Project di CSIS.
Dia menjelaskan, di Mindanao, Filipina, lebih dari 80 FTF datang dari Chechnya, Maroko, Arab Saudi, Yaman dan Indonesia untuk mendukung teroris lokal seperti Abu Sayyaf. Hal tersebut, menunjukkan bahwa kemungkinan yang sama bisa terjadi di Myanmar.
"Meski tidak ada kelompok yang sebanding dengan kelompok terafiliasi ISIS Abu Sayyaf di Filipina, ada potensi yang tak terbantahkan bagi ISIS untuk mengarahkan pasukan dan sumber daya lainnya ke Myanmar untuk membela Rohingya--baik diundang atau tidak," kata Sanderson dalam laporannya belum lama ini.
Belum lagi, populasi Rohingya yang terdiri dari 45 persen anak muda berpotensi untuk diradikalisasi. "Bocah-bocah dan lelaki muda ini, tidak mempunyai kewarganegaraan dan diincar pasukan pemerintah, bisa jadi mencoba untuk berperan sebagai pahlawan."