ANALISIS

Militer Myanmar, Kekuatan di Luar Kendali Suu Kyi

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Jumat, 22 Sep 2017 11:50 WIB
Sementara Suu Kyi menghadapi kecaman internasional, militer Myanmar yang terlibat langsung dalam pembantaian Rohingya justru kurang mendapat sorotan.
Panglima Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing mempunyai peran penting dalam pemerintahan Myanmar. (Reuters/Hla Hla Htay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penasihat Negara Aung San Suu Kyi tengah menjadi pusat kritik dan kecaman akibat krisis kemanusiaan yang menimpa masyarakat Rohingya. Namun, pemimpin de facto Myanmar itu bisa dikatakan memang tidak mempunyai kuasa penuh di negaranya.

Sejumlah analis secara spesifik menyebut Suu Kyi tidak bisa mengendalikan kekuatan militer yang melakukan operasi brutal terhadap etnis minoritas Muslim tersebut. Sejak 25 Agustus, diperkirakan sudah ada 1.000 orang yang tewas akibat persekusi oleh tentara Myanmar.

Junta militer, kekuatan yang menguasai negara itu dengan tangan besi sejak 1962 hingga 2011 lalu, masih menguasai pasukan keamanan, kepolisian dan posisi kunci dalam kambinet pemerintahan. Suu Kyi yang pernah menjadi tahanan politik di masa-masa kelam itu pun kini tidak bisa apa-apa untuk mengubahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di bawah Konstitusi, panglima (angkatan bersenjata Myanmar) adalah bos bagi dirinya sendiri, dia tidak melapor pada Aung San Suu Kyi. Dia tidak bisa dipecat," kata Aaron Connelly, peneliti Program Asia Timur di Institut Lowy, Sydney.

"Jika militer mesti memilih antara kekuasaan atau hormat internasional, mereka akan memilih kekuasaan. Pertanyaannya adalah seberapa banyak mereka mau mengalah. Kita belum pernah melihat bukti mereka mau mengalah lebih banyak dari apa yang mereka relakan dalam konstitusi 2008," ujarnya, Jumat (22/9).

Sejak 25 Agustus, ketika kelompok bersenjata Rohingya disebut pemerintah menyerang sejumlah pos polisi dan sebuah pangkalan militer, angkatan bersenjata Myanmar memulai "operasi pembersihan" yang mengincar masyarakat Rohingya.
Selain memakan banyak korban jiwa, operasi itu juga memaksa lebih dari 400 ribu orang mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh. Mereka yang berhasil melarikan diri menyebut rumahnya dibakar dan bercerita soal sanak keluarga yang menghilang entah ke mana.

Masih Berkuasa

Sebagaimana dirangkum CNN, pada 2008, konstitusi baru mengalokasikan seperempat kursi parlemen untuk militer. Reformasi konstitusi itu adalah cara mereka untuk mempermudah langkah Myanmar kembali dari perasingan di masyarakat internasional.

Selain itu, mereka juga melakukan sejumlah langkah lain, termasuk mengembalikan pemerintahan sipil dan membebaskan Suu Kyi dipenjara karena menentang pemerintahan junta. Namun, dalam konstitusi baru itu, militer masih dimungkinkan untuk bergeliat ketika kekuasaannya terasa diancam.

Di antara dekrit dalam dokumen itu adalah syarat yang tidak memungkinkan warga dengan dua kewarganegaraan untuk menjadi presiden. Karena mendiang suami dan kedua putra Suu Kyi yang kini sudah dewasa menyandang status warga negara Inggris, dia tidak bisa maju sebagai presiden.

[Gambas:Video CNN]

Walau demikian, dia bisa memainkan peran besar dalam posisi yang sengaja dibuat untuknya, Penasihat Negara. Dalam pemilihan umum 2015, dia mengatakan "saya akan berada di atas presiden" jika partainya menang.

Sementara itu, dalam Konstitusi, peran Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar kerap tumpang tindih dengan Presiden. Selain memungkinkan Panglima untuk menominasikan kandidat militer untuk menempati kedua kamar parlemen, Konstitusi juga memperbolehkannya untuk "mengambil alih dan menerapkan kekuatan kedaulatan negara" dalam keadaan darurat.

Konstitusi juga melarang hukum "retrospektif." Peraturan itu berarti militer tidak bisa didakwa karena kejahatan yang sudah lalu, termasuk menjebloskan Suu Kyi ke tahanan rumah dan mengingkari pemilu 1990 yang sebenarnya bisa secara efektif melucuti kekuatan para jenderal.

Saat berpidato di hadapan diplomat di Myanmar, 19 September lalu, Suu Kyi menegaskan bahwa pemerintahannya masih muda dan upaya untuk menegakkan demokrasi masih seumur jagung.
"Setelah separuh abad atau lebih di bawah kekuasaan otoriter, sekarang kita berada dalam proses mengasuh negara kita," ujarnya. "Kita adalah negara yang muda dan rapuh dihadapkan pada banyak masalah, tapi kita harus bisa bertahan. Kita tidak bisa hanya berkonsentrasi pada beberapa hal saja."

Advokat pemenang penghargaan Nobel ini mesti bertahan dihadapkan pada kemarahan dan kecaman atas kekejaman terhadap Rohingya. Sementara itu, hari-hari Panglima Jenderal Senior Min Aung Hlaing justru berlangsung seperti biasanya.

Sementara Suu Kyi memilih untuk membatalkan pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa demi menyelesaikan permasalahan di dalam negeri, Min Aung Hlaing justru menjamu diplomat asing, berbicara pada audiensi militer dan menerima bantuan kemanusiaan untuk korban "kekacauan" yang dipicu kelompok bersenjata Rohingya.

(aal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER