Survei: Dua dari Lima Muslim di Eropa Alami Diskriminasi

CNN Indonesia
Jumat, 22 Sep 2017 20:33 WIB
Sebuah survei terbaru mengungkap bahwa 40 persen atau dua per lima umat Muslim di Eropa mengalami perlakuan tidak adil saat mengakses layanan publik.
Ilustrasi protes anti-Islam di Eropa. (Reuters/Fabrizio Bensch)
Jakarta, CNN Indonesia -- Survei European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) menyingkap bahwa diskriminasi terhadap Muslim di Eropa meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Hasil survei yang dilakukan selama akhir 2015 hingga 2016 lalu itu memaparkan 40 persen atau dua dari lima Muslim di Eropa mengalami perlakuan tidak adil saat mencari pekerjaan dan mengakses layanan publik lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan.

Sebagian besar responden juga menuturkan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama 5 tahun terakhir, sebelum survei ini dilakukan. Mereka merasa perlakuan diskriminatif itu diakibatkan oleh nama, warna kulit, atau penampilan mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam laporan berjudul Second European Union Minorities and Discrimination Survey (EU-MIDIS II): Muslims - Selected Findings itu, FRA melibatkan 10.500 Muslim dari 15 negara di Eropa termasuk Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Inggris.

Hasil survei memaparkan hampir 40 persen responden wanita yang mengenakan jilbab atau niqab merasa mendapat perlakuan diskriminatif saat melamar pekerjaan.

Sementara itu, lebih dari 30 persen responden wanita Muslim lainnya bahkan mengaku pernah mendapat pelecehan yang sebagian besar berbentuk hinaan.
Sedangkan 47 persen pria Muslim merasa kerap dicegat atau menjadi sasaran pengawasan otoritas keamanan setempat karena memakai pakaian tradisional atau keagamaan.

Selain itu, survei juga menyebut sekitar 17 persen responden mengaku pernah mengalami diskriminasi langsung akibat kepercayaan mereka. Jumlah ini meningkat tujuh persen dari penelitian serupa yang terakhir dilakukan pada 2008 lalu.

Hampir 30 persen responden yang ikut dalam survei tersebut juga mengatakan pernah mengalami penghinaan karena agama mereka.

Sementara itu, 2 persen lainnya mengaku pernah mengalami serangan fisik dalam 12 bulan terakhir, sebelum penelitian ini dimulai.
Di sisi lain, hanya ada sekitar 12 persen korban diskriminasi dan 9 persen korban pelecehan yang berani melaporkannya kepada otoritas berwenang.

"Setiap insiden diskriminasi dan ujaran kebencian menghambat pengakuan mereka di masyarakat dan mengurangi kesempatan bagi mereka untuk mencari pekerjaan. Dengan ini, kita berisiko mengasingkan seorang individu dan komunitas dengan konsekuensi yang cukup berbahaya," ujar Kepala FRA, Michael O'Flaherty, seperti dikutip The Guardian.

Survei ini dilakukan seiring dengan meningkatnya sentimen islamofobia di Eropa menyusul peningkatan gerakan ekstremis dan terorisme di benua itu akibat lonjakan eksodus pengungsi pada 2015-2016

Krisis pengungsi pada 2015-2016 lalu itu pun memicu timbulnya gejolak sosial antara masyarakat Eropa dan imigran pendatang yang sebagian besar berasal dari kawasan berkonflik seperti Timur Tengah.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER