Jakarta, CNN Indonesia -- Jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan Myanmar telah bertambah hingga melampaui 500 ribu orang, tapi baru kini Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar rapat terbuka terkait masalah tersebut.
Pada Kamis waktu setempat (28/9), DK PBB menggelar rapat terbuka pertama membahas krisis yang disebut sebagai "pembersihan etnis" itu dalam delapan tahun terakhir.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kepada Dewan bahwa gelombang kekerasan tersebut telah "berkembang menjadi salah-satu keadaan tercepat darurat pengungsi, mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menerima cerita yang membuat merinding dari mereka yang melarikan diri, terutama perempuan, anak-anak dan lanjut usia," ujarnya sebagaimana dikutip
CNN.
Ratusan Rohingya tiba di Bangladesh menggunakan kapal di balik bayang-bayang kegelapan pada 26 Agustus 2017, menambah jumlah pengungsi menjadi separuh juta.
Setidaknya 500 ribu Rohingya melarikan diri dari Myanmar sejak kekerasan semakin meningkat akhir Agustus lalu, membawa cerita soal pengrusakan besar-besaran dan pembunuhan di kampung halamannya.
Pengusiran mereka mengakibatkan eksodus tercepat yang pernah terjadi sejak genosida di Rwanda, 1994 silam.
Muslim Rohingya dinilai sebagai salah satu kelompok yang paling parah dipersekusi. Myanmar yanh didominasi warga Buddha menganggap mereka sebagai warga Bangladesh, tapi negara itu justru menyatakan sebaliknya.
[Gambas:Video CNN]Hasilnya, mereka secara efektif tak mempunyai status kewarganegaraan.
Pada 25 Agustus, kelompok bersenjata Rohingya menewaskan 12 pasukan keamanan Myanmar, kata pemerintah. Sebagai tanggapan, militer meningkatkan "operasi pembersihan" terhadap "teroris."
Pada praktiknya, mereka justru mengusir ribuan orang dari rumah.
Rapat DK PBB dilakukan saat 15 Rohingya, termasuk sembilan anak-anak, tenggelam karena kapalnya karam saat melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh. Sementara itu, antrean para pengungsi terus mengular di kamp pengungsian Kutupalong di Ukhia, Bangladesh, pada 28 September.
 Pengungsi Rohingya di Bangladesh. (REUTERS/Danish Siddiqui) |
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa tindakan Myanmar tampak seperti pembersihan etnis, sama dengan yang dikatakan Kepala Badan HAM PBB Zeid Raad Al-Hussein beberapa pekan lalu.
Pemerintah Myanmar berulang kali menampik tudingan tersebut, mengklaim pasukan keamanan melaksanakan serangan balasan atas "aksi brutal terorisme."
Dalam pernyataan, Kementerian Luar Negeri Myanmar mengklaim pasukan keamanan melakukan "langkah penuh untuk menghindari korban yang tak semestinya dan melukai warga sipil."
Penasihat Keamanan Myanmar U Thaung Tun menyalahkan terorisme, bukan persekusi religius, sebagai akar dari krisis ini. Dia mengatakan "tidak ada pembersihan etnis atau genosida" di Myanmar dan menyatakan tudingan itu tidak boleh begitu saja dilontarkan.
Meski sudah melontarkan pernyataan keras, tidak ada tindakan yang dilakukan setelah rapat. Para duta besar mengatakan mereka merasa dewan keamanan telah mengirim pesan keras pada Myanmar.
(aal)