Jakarta, CNN Indonesia -- Mulai bekerja sekitar akhir Agustus lalu, tugas Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih punya banyak pekerjaan sebelum bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada etnis minoritas, terutama Muslim Rohingya di Myanmar. Walau demikian, latar belakang konflik itu sudah bisa diketahui.
Sejak 25 Agustus lalu, setelah penyerangan terhadap sejumlah pos polisi di negara bagian Rakhine terjadi, bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar tak terhindarkan hingga memaksa ratusan ribu pengungsi Rohingya kembali membanjiri negara tetangga terutama Bangladesh untuk mengungsi.
Bahkan konflik di Rakhine itu diperkirakan telah menelan korban sebanyak 1.000 jiwa yang sebagian besar merupakan Muslim Rohingya. Myanmar pun kembali menjadi sorotan dunia internasional lantaran dianggap gagal melindungi warganya sendiri dengan membiarkan kekerasan terus menimpa warga minoritasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wartawan
CNNIndonesia.com, Riva Dessthania Suastha, berbincang dengan Ketua TPF PBB Marzuki Darusman untuk mengetahui dan mengabarkan apa yang mengakibatkan salah satu krisis kemanusiaan terbesar itu. Berikut petikan wawancara dengan Marzuki beberapa waktu lalu di kantor redaksi di Jakarta:
Sebenarnya apa penyebab gesekan antara militer dan etnis minoritas di Myanmar? Adakah kepentingan militer di balik konflik ini?Ini pertanyaan yang merupakan inti masalah dari persoalan yang dihadapi setiap negara—tidak hanya Myanmar—khususnya pada negara yang tersusun dari masyarakat multi-etnis. Bahwa untuk melalui proses integrasi nasional dan pembangunan bangsa akan selalu terjadi dinamika dan gejolak-gejolak dalam masyarakatnya. Indonesia juga pernah mengalami masa seperti ini selama bertahun-tahun pada awal mula terbentuk.
Masalah Myanmar ini sudah berlangsung puluhan tahun, bukan hanya setahun atau dua tahun saja. Sudah ada 4 kali penunjukkan pelapor khusus PBB untuk memantau isu dugaan pelanggaran HAM di Myanmar. Satu pelapor memiliki mandat kerja selama 5 tahun, ini kan berarti sudah 20 tahun berjalan.
Sejarah Myanmar adalah sejarah yang penuh dan diwarnai konflik etnis yang juga tak jarang diikuti dengan dimensi keagamaan pada awal-awal berdirinya negara ini. Intinya lebih tertuju pada pertentangan etnis.
[Gambas:Video CNN]Ada sekitar 135 etnis di Myanmar. Sekarang mungkin bisa dikatakan bahwa pemerintah Myanmar sedang berhadapan dengan 10 konflik etnis secara serentak, ya. Kita bisa bayangkan rumitnya konflik di sana dan posisi pemerintah dalam hadapi masalah yang berhubungan dengan integrasi nasionalnya.
Selain itu, sejarah Myanmar juga tentu tidak lepas dari suatu masa saat berada di bawah pemerintahan yang sangat terpusat dan didominasi militer. Dengan reformasi politik pada 2012 lalu, maka muncul pelonggaran keadaan sehingga daerah-daerah kini mulai merasakan bahwa mereka memiliki ruang untuk bergerak. Ini lah yang sekarang menjadi dinamika. Karena adanya pelonggaran sistem dari pusat sehingga muncul [pergerakan] di daerah-daerah setelah begitu lama menghadapi tekanan.
Ini lah yang menjadikan situasi lebih rumit dari yang terlihat. Tapi yang terjadi di Rakhine ini skalanya jauh lebih besar.
Apakah ini artinya kejadian yang sama tidak hanya terjadi pada Muslim Rohingya saja, tapi juga dirasakan pada etnis minoritas lainnya?Ya, betul. Satu konflik etnis ini tidak lepas dari konflik di wilayah lainnya. Dengan demikan, konflik di Rakhine juga berdampak ke daerah lain. Sehingga masalah ini tidak berdiri sendiri. Masalah ini juga dirasakan oleh kelompok etnis lain.
Selain di Rakhine, konflik komunal juga terjadi di negara bagian Katchin, utara Myanmar, negara bagian Shan, dan beberapa wilayah lainnya. Ini yang sedang kami verifikasi lagi karena memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Kami akan kirimkan tim pendahulu ke wilayah-wilayah lain yang berbatasan langsung dengan Myanmar seperti di Thailand dan Malaysia sehignga bisa mendapat gambaran umum mengenai konflik ini.
Saat ini satu-satunya kekuatan yang bisa mempersatukan Myanmar adalah pemerintah pusat, khususnya tentu aparat pemerintah. Dan karena ini sudah bertahaun-tahun berlangsung dan pasang-surut dengan kekerasan yang juga tidak hanya berasal dari dalam tetapi juga dari luar, maka kondisi yang sekarang dialami Myanmar ini—terutama sejak reformasi politik sekitar 2012 lalu—adalah suatu proses yang tercampur antara tindkan-tindakan penertiban dan upaya untuk mencapai perdamaian. Tentunya kondisi ini sangat rawan akan potensi terjadinya pelanggaran HAM.
Itu tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dari waktu-kewaktu terus memuncak. Nah, saat ini persoalannya apakah maslaah ini jadi perhatian Myanmar tidak bahwa pemerintah melaksanakan proses integrasi bangsanya dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM.
Bagaimana dengan isu SARA yang kerap didengungkan dalam konflik ini?Kita tidak bisa mengingkari bahwa hakikat dari susunan bangsa Myanmar itu berbasis etnis. Karena itu kalau ada konflik, maka konflik-konflik ini memiliki nilai etnis yang nyata dan terlihat betul. Falsafah dari negara itu juga didasarkan pada pengakuan etnisitas dalam kelompok masyarakatnya.
Ini unik untuk Myanmar dan karena itu evolusi kebangsaan Myanmar ini akan berjalan sepanjang garis perkembangan etnis di negara itu.
Umumnya boleh dikatakan bahwa keadaan di dalam negeri bisa dikelola pada tingkatan di mana walau terjadi ketegangan, kekeraan itu terlokalisasi dalam bentuk konflik. Tapi konflik ini tidak serta-merta melibatkan seluruh bangsa atau etnisnya. Konflik hanya antara kelompok bersenjata [pemberontak] yang mewakili suatu etnis tersebut dan melawan pemerintah.
 Pengungsi Rohingya. (REUTERS/Danish Siddiqui) |
Bentrokan yang terakhir, sekitar akhir Agustus lalu ini, memuncak oleh karena ada suatu masalah yang sekarang sedang dilihat dunia bahwa sumber yang timbul ini adalah masalah pengingkaran atau pencabutan kewarganegaraan terhadap suatu kelompok masyarakat yang kebetulan Muslim di Rakhine.
[Di sisi lain] pemerintah Myanmar dalam pernyataan publiknya menyatakan isu kewarganegaraan ini khusus masalahnya, tidak mencerminkan keadaan Myanmar secara keseluruhan.
Apakah isu bangkitnya kelompok bersenjata ARSA juga ikut memperkeruh situasi di Myanmar khususnya Rakhine?Soal kelompok bersenjata, ini memerlukan analisiis lebih jauh mengenai sebab dan akibatnya. Dan tidak mudah saat ini untuk memastikan itu karena begitu banyak versi beredar. Masih diperlukan penelitian lebih jauh seperti mendapat kesaksian-kesaksian dari para pengungsi di Bangladesh untuk ketahui sebetulnya apa yang memicu mereka berpindah secara terpaksa dan apa penyebab kekerasan bisa terjadi. Dan kita juga perlu memastikan apakah para pengungsi memiliki pertalian dengan kelompok bersenjata itu.
Memang kelompok bersenjata ini dikenal dengan nama tertentu tapi TPF tidak bisa memberikan label tertentu kepada suatu kelompok. Tapi jelas bahwa keluarnya masyarakat Muslim dari Rakhine itu adalah untuk cari pelrindungan karena tindakan kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari clash antara kelompok bersenjata dengan pemerintah Myanmar.
Ini yang sekarang perlu didahulukan meski Myanmar membantah terjadinya pembunuhan besar-besaran yang kemudian memicu reaksi dunia internasional.